Otak dalam Cinta?

Problem kemanusiaan gak bisa dituntaskan penyelesaiannya semata dengan riset dan pikiran spekulatif yang tak akrab dengan hati yang mencinta. Tanpa cinta dari hati, otak dan pikiran brilian orang menempatkan diri sebagai pusat: yang lain-lainnya adalah alat atau instrumen. Loh, katanya semua ciptaan di dunia ini memang instrumen untuk tujuan tertentu! Betul, tapi azas dan dasar itu kan gak bicara soal cara orang memperlakukan instrumen.

Dalam hati orang yang terbilang sebagai saudara Yesus (yaitu mereka, apapun agamanya, yang mendengarkan Sabda Tuhan dan menjalankannya) sekurang-kurangnya ada niat untuk jadi seperti hati raja dalam Kitab Amsal hari ini: seperti batang air di dalam tangan TUHAN, dialirkan-Nya ke mana Ia ingini. Memang orang kritis mempertanyakan: orang kan bisa klaim bahwa ia mendengarkan Sabda Tuhan. Ini soal menang-menangan klaim aja. Betul, setiap jalan orang adalah lurus menurut pandangannya sendiri, tetapi Tuhanlah yang menguji hati.

Kalau orang menyangkal hal ini, ia menempatkan dirinya secara individualistik sebagai pusat dan yang lainnya jadi instrumen atau bahkan beban sosial yang layak dihapus: muncullah kelompok kekuasaan dan berakibat pada perbedaan klas sosial. Ini juga kelihatan dalam kepemilikan barang: ada konsentrasi kekayaan dan, dengan demikian, konsentrasi kemiskinan. Ini masalah klasik yang tak pernah selesai dipecahkan dengan spekulasi pikiran yang brilian tanpa memantik hati tempat bersemayamnya Cinta.

Uraian itu bisa diterangkan oleh seorang suster yang berhasil ‘mengusir’ pedagang kaki lima dari trotoar tanpa menimbulkan reaksi keras dari para pedagang kaki lima tersebut. Penyelesaian ini melibatkan hati yang penuh cinta, yang belum bisa saya tiru… kasihan deh.


SELASA BIASA XXV
Peringatan Wajib Santo Padre Pio
23 September 2014

Ams 21,1-6.10-13
Luk 8,19-21