Syari’ah Demokratis (1)

Published by

on

Seorang ahli Islam pernah meramalkan bahwa Islam akan menjadi kekuatan politik yang penting (W. Montgomery Watt, 1968). Juga ada pengamat yang menangkap gerakan ‘kebangkitan’ Islam yang semakin inklusif (Douglas E. Ramage, 1996). Di Indonesia sendiri bisa dilihat upaya Islam untuk menegaskan identitasnya. Banyak aspek kehidupan yang dicarikan dasarnya dari Qur’an maupun hadits Nabi. Sementara itu, kehancuran ideologi komunis menyisakan demokrasi sebagai peradaban politik yang kokoh (meskipun belum terbukti sebagai yang terbaik).

Karena itu, sewajarnyalah muncul pertanyaan mengenai relasi antara demokrasi dan Islam. Demokrasi dalam tulisan ini cukup dipahami sebagai suatu kesetaraan politik atau perimbangan kekuasaan. Karena itu, setiap wilayah bisa mencari model-model demokrasi yang operasional. Demokrasi di Amerika tidak otomatis compatible dengan demokrasi di Turki, misalnya. Sedangkan Islam dalam tulisan ini dimengerti sebagai kekuatan politik yang memiliki deep driving force untuk menciptakan iklim demokratis.

Islam: Kekuatan Politik

Sebagai kekuatan politik, Islam memiliki paham integral tentang yang duniawi dan ukhrawi (Nurcholish Madjid, 1997). Gerakan religius Nabi Muhammad yang pada awalnya tak punya relevansi politis akhirnya diperhitungkan oleh pedagang-pedagang besar di Mekah. Gagasan religiusnya lambat laun menjadi penting bagi kegiatan politik di tanah Arab itu (W. Montgomery Watt, op.cit.). Keterbukaan dan hormat pada sesama makhluk Allah, misalnya, cukup jadi basis penggerak komunitas plural (dengan Piagam Medina). Ini memupuk paham bahwa sebagai kekuatan politik Islam berangkat dari gerakan religius. Apa yang dihayati sebagai bagian kerohanian itu terwujud dalam kejasmanian.

Artinya, Islam memiliki ideologi yang mendasari tatanan sosial politik juga. Lebih radikal lagi, Islam punya kaitan istimewa dengan negara (Bernard Lewis, 1994): menawarkan landasan kokoh bagi tata kelola negara. Karakter ini tak ada pada agama-agama Timur atau agama Kristen, misalnya. Meskipun demikian, rupanya keharusan akan adanya negara Islam tidak sekuat keharusan adanya agama Islam sendiri. Ini memunculkan aneka tafsiran dan gerakan dalam Islam sendiri: ada yang pro negara Islam, ada yang kontra.

Kelompok fundamentalis menuntut pemerintahan negara Islam tanpa kompromi. Negara Islam adalah harga mati. Sementara itu, kelompok moderat tidak memutlakkan negara yang segala-galanya diatur menurut kaidah Islam (Amien Rais muda, 1997). Dengan penafsiran yang lebih terbuka itu, Islam mesti menemukan ide dasar dalam syari’ah bagi demokrasi. Kenapa? Demokrasi per se bukanlah gagasan Islam (M. Imam Aziz, 1993) tetapi bukan berarti Islam tidak compatible dengan demokrasi. Islam justru perlu terbuka pada gagasan demokrasi yang sudah diterima umum sebagai peradaban yang layak diupayakan. Apa saja elemen-elemen demokrasi yang perlu ditemukan basisnya dalam Islam?

Demokrasi: Suatu Kesetaraan Politik

Pengertian demokrasi tidak selamanya jelas (Robert A. Dahl, 1989), tetapi ada pokok-pokok yang selalu dibahas sebagai elemen penting dalam demokrasi atau sekurang-kurangnya perlu diupayakan oleh demokrasi (Mahmoud Mohamed Taha, 1996):

  1. Pengakuan kesetaraan seluruh individu
  2. Nilai yang melekat pada individu mengatasi nilai yang melekat pada negara
  3. Pemerintah adalah wujud pelayan masyarakat
  4. Ada aturan-aturan hukum yang berlaku
  5. Ada pengakuan terhadap nalar, eksperimentasi dan pengalaman
  6. Ada pengakuan mayoritas terhadap hak-hak kaum minoritas
  7. Ada prosedur dan mekanisme demokratis sebagai cara untuk mencapai tujuan bersama

Dari pokok-pokok itu bisa dipahami adanya asumsi kesetaraan atau keseimbangan politis. Setiap elemen masyarakat diandaikan punya kemampuan dan kesempatan yang relatif seimbang untuk memperjuangkan kepentingan politiknya. Prinsip kesetaraan diterima sebagai basis demokrasi. Dari prinsip ini bisa ditarik aneka teori yang akomodatif bagi Islam. Artinya, Islam punya basis untuk mendukung prinsip kesetaraan tersebut, yaitu dengan syari’ahnya. Karena Islam memiliki syari’ah yang bersumber pada Al-Qur’an, baiklah disodorkan secukupnya kaidah-kaidah yang bisa dipakai sebagai legitimasi bagi demokrasi (Kuntowijoyo, 1997).

Kaidah-kaidah Demokrasi

Prinsip kesetaraan bisa didasarkan pada Surah Al-Hujurat (49):13 yang menunjukkan teosentrisme dalam Islam, yang menyatakan kesatuan sebagai awal eksistensi manusia. Pluralitas kebangsaan harus dikembalikan pada prinsip asali dengan kaidah ta’arruf (saling mengenal). Kaidah ini secara filosofis mengandaikan adanya kesamaan (yang sama mengenal yang sama), kebebasan, tetapi juga komunikasi dialogis tanpa dominasi kelompok tertentu.

Kaidah kedua diasalkan pada Surah Asy-Syura (42):38 dan Ali’Imran (3):159 yang mengungkapkan kewajiban musyawarah dalam Islam (Bernard Lewis, op.cit.). Ini rupanya juga diperkuat oleh sumber sekunder syari’ah, yaitu penghayatan Nabi Muhammad sendiri. Kaidah musyawarah (syura) ini bersifat inklusif, terbuka bagi kelompok non-muslim.

Kaidah berikutnya adalah ta’awun yang didasarkan pada Surah Al-Maidah (5):2 yang menyatakan adanya tuntutan kerja sama demi ‘proyek kepentingan’ Tuhan dan manusia sendiri. Di sini prinsip untuk demokrasi dipahami sebagai prinsip untuk membangun iklim yang ‘bajik’ bagi hidup bersama, baik dalam level komunitas kecil maupun komunitas besar.

Kaidah lainnya banyak dijumpai dalam Al-Qur’an sebagai padanan akar kata shahih, yaitu mashlahah. Kaidah ini berfungsi sebagi suatu kekuatan moral supaya setiap individu berbuat baik sehingga menguntungkan pihak lain (amar ma’ruf nahi munkar). Di sini Islam berperan secara tak langsung melalui individu atau kebudayaan (meskipun Kuntowijoyo juga menyebutnya sebagai peranan langsung agama).

Kaidah berikutnya ialah adl atau adil, yang terdapat dalam Surah An-Nisa’ (4):58, dilanjutkan juga pada Surah Al-An’am (6):152. Prinsip keadilan ini jelas merupakan elemen penting demokrasi. Keadilan ini mencakup keadilan sosial (distributive justice) maupun keadilan ekonomi (productive justice). Kajian ini diuraikan panjang lebar oleh Kuntowijoyo sebagai demokrasi sosial dan demokrasi ekonomi.

Kaidah terakhir: taghyir atau perubahan pada Surah Ar-Ra’d (13):11 yang menyatakan bahwa manusia berperan besar dalam menentukan perubahan hidup. Kaidah ini mengingatkan sejarah demokrasi di Atena yang diwarnai tuntutan pergantian anggota Dewan Lima Ratus. Elemen ini tak bisa dihindari oleh demokrasi, yang tidak berpihak pada status quo (John Dunn, 1992). Demokrasi menuntut perubahan seiring dengan perkembangan kesadaran manusia yang menginginkan perbaikan. Surah Al-Insyiqaq (84):19 mendukung peran manusia dalam berproses demi perubahan.

Memang sumber-sumber syari’ah itu tidak menyebut kata demokrasi (W. Montgomery Watt, op.cit.). Ada nuansa rasionalisasi bahwa Islam itu klop dengan demokrasi. Hal itu toh diperlukan dalam kontak dengan arus perkembangan, tanpa kehilangan pijakan religius. Diperlukan dialog antara Islam sebagai kekuatan politik dan demokrasi sebagai sistem peradaban. Bagaimana relasi keduanya terjadi?

Read more…