Anda yang akrab dengan anak-anak kiranya paham betul mengapa Hawa jatuh dalam godaan: semakin anak dilarang, semakin berkembanglah rasa ingin tahunya dan justru semakin kuatlah dorongan untuk melanggar larangan itu. Jangan-jangan, Tuhan tak pernah mempelajari hal ini sehingga Dia hanya bisa melarang Adam dan Hawa supaya tidak memakan ‘buah terlarang’ itu (Kej 3:2)!
Memang melarang ini itu paling mudah dilakukan dan efektif untuk jangka pendek. Tak ada ‘beban’ untuk memberi pertanggungjawaban atas larangan tersebut. Dengan melarang, orang tampak sedang menyodorkan otoritasnya. Akan tetapi, begitukah pendidikan seks anak?
Semakin Tabu, Semakin Buta
Curiosity terhadap seks bisa menggentarkan entah bagi yang memilikinya maupun yang mesti menanggapinya. Seks terhubung dengan keseluruhan hidup pribadi manusia, sebuah misteri yang senantiasa menarik sekaligus ‘menakutkan’. Kalau seks hanya soal alat kelamin dan reproduksi, tentu setiap anak yang kepo mengenai seks tinggal diberi janji: nanti kamu akan pelajari waktu SMP!
Pada kenyataannya, rasa ingin tahu sudah muncul sebelum anak masuk SMP. Sebelum mampu berbicara pun, anak-anak sudah menunjukkan rasa ingin tahu itu dalam aneka gerak-gerik seturut perkembangan mereka. Setelah mampu berbicara, mereka membuat orang tua kerepotan dengan aneka pertanyaan. Tambah lagi, suguhan sinetron televisi di negeri ini membombardir anak-anak dengan kosa kata yang sebenarnya janggal diucapkan oleh anak-anak.
Dengan begitu, banyak orang tua canggung, tak dapat menanggapi rasa ingin tahu anak-anak mereka. Paling gampang ialah melarang anak-anak bertanya, atau memarahi mereka. Dengan begitu, curiosity sang anak tidak terjawab dan malah memahaminya sebagai tabu. Semakin orang tua menabukan wacana tentang seks, semakin ia membutakan anak terhadap seksualitasnya sendiri.
Kita sekarang tentu tidak hendak menabukan seks. Hanya saja, kita tidak tahu bagaimana menanggapi curiosity anak-anak mengenai seks. Ada beberapa prinsip yang bisa dijadikan pedoman untuk menanggapi rasa ingin tahu sang anak mengenai seks: dicukur.
Dialog-Cinta-Syukur
Rasa ingin tahu anak dalam bentuk pertanyaan hanya dapat ditanggapi sejauh orang tua punya sikap dialog. Pertanyaan anak pantas dihargai. Kalau tidak ada pertanyaan dari anak pun, sewajarnya orang tua memberi kondisi supaya anak memiliki kebiasaan untuk bercerita kepada orang tua hal-hal yang tak bisa diceritakannya kepada orang lain. Menurut seorang dokter, there are some secrets that children should share with their parents. Kalau orang tua tak memberi peluang untuk berbagi cerita, bagaimana mungkin berdialog?
Terutama anak perempuan perlu diberi pengertian mengenai privacy dan siapa saja yang boleh menyentuh bagian privatnya. Dalam dialog itu ada baiknya dipakai istilah-istilah biologis yang netral: penis, vagina, anus, misalnya. Istilah netral ini membantu anak untuk melihat kenyataan seksualnya tanpa bias sebagai bahan guyonan, eufimisme, atau umpatan.
Rasa ingin tahu anak juga dapat terungkap dalam gerak-gerik yang terkait dengan organ seksualnya. Eksplorasi anak yang sudah sampai taraf perilaku ini juga sering direspon negatif oleh orang tua. Kenapa? Barangkali karena orang tua sedemikian kaku terhadap sepuluh Perintah Allah. Sang anak dimarahi, bahkan mungkin dipukul, tetapi tak ada dialog setelahnya: mengapa bisa terjadi sensasi kenikmatan, mengapa tidak boleh masturbasi, dan sebagainya.
Pada level tindakan ini, berlaku prinsip kedua: cinta adalah konteks bagi seksualitas. Jika rasa ingin tahu anak sudah masuk dalam perilaku seksual, ada baiknya hal itu didialogkan dalam suasana penuh cinta: anak dipeluk dan kalau perlu, dialihkan perhatiannya untuk melakukan aktivitas lain yang lebih menggembirakan dan melibatkan orang lain.
Pada level ini, relasi suami istri yang membahagiakan, tanpa melibatkan organ seks, di depan anak mereka berperan sangat penting bagi kesehatan seksualitas anak. Sebaliknya, pertengkaran di depan anak bisa merusak pandangan anak mengenai seksualitas. Prinsip relasi cinta ini akan sangat operatif jika anak juga dididik untuk senantiasa bersyukur juga atas seksualitasnya.
Rasa syukur dalam diri anak akan meningkatkan kepercayaan dirinya dan dengan demikian juga memudahkannya untuk memercayai orang lain. Kita imajinasikan kisah konkret berikut ini untuk merangkum dialog-cinta-syukur.
Semalam, Reinhard tiba-tiba memeluk saya dari belakang. ”Mamah, makasih ya, sudah bawa aku ke mana-mana.” Saya pikir anak laki-laki saya yang berumur 6 tahun ini berterima kasih karena sering saya ajak jalan-jalan ke musem, kota tua, menonton balet atau pertunjukan musik. ”Iya, Sayang. Mamah ajak kamu karena Mamah ingin kasih lihat tempat-tempat yang bagus.”
Reinhard memotong,”Bukan, Mah. Makasih, ya, karena waktu aku masih jadi dedek bayi di perut Mamah, aku udah ikut Mamah terus. Kata Bu Guru, itu berat loh. Tapi Mamah tetap bawa aku ke mana-mana. Aku sayang Mamah.” Reinhard memeluk kembali mamanya.
