Teori Kebahagiaan

Anda tentu pernah dengar kisah Tony de Mello dengan topik “Nasib untung, nasib malang, siapa tahu?” Jauh hari sebelumnya, Shakespeare pernah bilang kurang lebih begini: “Baik buruk itu gak ada, pikiran oranglah yang mengadakannya!” Barangkali, dua pernyataan tadi bisa membuat kita paham mengapa Sang Buddha mengatakan bahwa kehidupan kita ini adalah ciptaan pikiran kita. Tentu, beliau tidak sedang berwacana tentang misteri penciptaan semesta, tetapi soal hidup manusia yang sedikit banyak ditentukan oleh bagaimana mereka berpikir.

Sayangnya, di kepala orang itu sudah ada kategori biner tertentu yang menyebabkan konflik pada pikirannya: untung-malang, baik-buruk, tinggi-rendah, besar-kecil, kiri-kanan, tua-muda, lama-baru, dan seterusnya. Hans Rosling (Factfulness) mengulas panjang lebar 10 insting pikiran orang yang bikin orang keliru menafsirkan hidup ini. Sebelumnya, Jonathan Haidt (The Happiness Hypothesis) juga menengarai keterpecahan dalam diri manusia: tahu benar perkara Golden Rule, tapi dasar munafik, diri manusia pun terpecah sehingga susah menghidupi Golden Rule.

Anda tahu, mungkin dari pengalaman, mata melotot ke kanan, padahal lawan bicara di kiri; liriknya gembira, melodinya sedih; tawanya terbahak-bahak, hatinya menangis pilu; begitu dibutuhkan tidak ada, pas ada malah pas tidak dibutuhkan; mengerjakan hal yang tak seharusnya dikerjakan, malah tak melakukan apa yang seharusnya dikerjakan; begitu seterusnya. Kata Paulus, “Sebab bukan apa yang aku kehendaki (yaitu yang baik) yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki (yaitu yang jahat) yang aku perbuat” (Rm 7:19).

Apakah orang yang mengalami keterpecahan dalam dirinya itu bisa bahagia? Dari manakah datangnya kebahagiaan? Sesuai dengan judul bukunya, Haidt, seorang psikolog sosial yang fokus penelitiannya pada psikologi positif, menunjukkan dua tren dugaan mengenai kebahagiaan.

  1. Yang pertama mengatakan bahwa kebahagiaan itu datang dari pemenuhan kebutuhan psikologis. Kenyang durian, misalnya, tidak dengan sendirinya membahagiakan karena belum tentu yang kenyang durian itu memang senang pada durian. Kesenangan akan durian dan pemenuhannya itulah yang membahagiakan. Akan tetapi, kita tahu, kebahagiaan seperti ini tak berumur panjang karena perut manusia ada batasnya.
  2. Yang kedua, yang tampak lebih menjanjikan, mengingatkan kita bahwa kebahagiaan itu datang dari dalam dan tidak diperoleh dengan upaya menyesuaikan dunia sekeliling dengan apa yang kita inginkan atau idealkan. Alhasil, disarankanlah suatu emotional detachments terhadap orang atau peristiwa yang tak bisa kita prediksi atau kendalikan. Orang mesti menghindari emotional attachments

Mengapa teori yang kedua lebih menjanjikan? Jelas, mengendalikan pikiran lebih efektif daripada mencoba mengendalikan dunia. Katanya sudah 77 tahun Indonesia merdeka, tetapi selama itu pula mengendalikan korupsi belum tuntas juga. Tak usah jauh-jauh, mengubah teman, saudara, tetangga, bahkan pasangan hidup, bukankah bisa bikin stres sendiri? Lebih menentramkan hati: mengubah mindset, memodifikasi, atau bahkan berpikir positif saja! Ini tak perlu menuntut diri untuk memikirkan orang lain, biarlah mereka menjadi apa mereka adanya gitu.

Akan tetapi, betulkah teori kebahagiaan seperti itu cocok dengan kenyataan hidup orang? Betulkah berpikir positif, sikap lepas bebas (detachment), membawa orang pada kebahagiaan? Betulkah mengubah pikiran ‘untung-rugi’ ‘suka-duka’ ‘baik-buruk’ mengantarkan orang pada pintu gerbang kebahagiaan langgeng? Apa dan bagaimana mengukurnya? Mana datanya? Anda bisa membaca hasil penelitian Haidt yang membuktikan bahwa dua teori kebahagiaan tadi tidaklah valid. Kebahagiaan bukanlah hak eksklusif ranah dunia internal atau eksternal.

Haidt membuktikan secara meyakinkan dari mana datangnya kebahagiaan, mengapa passionate love selalu akhirnya garing, dan apa itu cinta ‘sejati’. Referensi perkuliahan ini tidak mengulasnya di sini, tetapi menempuh jalur lain untuk memaparkan bagaimana mengubah pikiran dapat menjadi kondisi bagi upaya mendatangkan kebahagiaan dalam hidup manusia: teori berpikir.