Teori (Ke)Pikiran

Strategi Kebudayaan karya C.A. van Peursen (Strategie Van De Cultuur) menyodorkan tiga pandangan dunia dalam sejarah manusia: mitis, ontologis, fungsional. Paralel dengan tiga paradigma itu, referensi ini menyinggung pengamatan Paul Ricoeur (Wonder, Eroticism, and Enigma) mengenai tiga fase relasi antara seksualitas dan agama. Mengapa membahas seksualitas segala untuk kuliah teologi?🤭 Karena seksualitas bersifat konstitutif bagi yang kuliah teologi:  yaitu manusia, bukan manekin, bukan torso, bukan tokoh kartun. Bahasa dan sifat sosial juga konstitutif terhadap makhluk yang disebut manusia, mengapa mesti seksualitas?

Kata Ricoeur, seksualitas adalah domain dari segala kesulitan, kegagapan, bahaya dan dilema, kegagalan dan kegembiraan orang. Mudahnya, ini ranah yang lebih njelimet daripada aspek bahasa dan sosialitas manusia. Problem bahasa dapat ditangani dengan aplikasi linguistik, tetapi aplikasi itu bisa jadi tidak efektif jika berhubungan dengan ‘bahasa seksual’. Misalnya, ungkapan ‘I love you’ bisa diobral lintas negara tetapi yang satu kebelet mendapat pasangan bule dan yang lain mendapat mangsa baru. Artinya, alih-alih jadi medium komunikatif, seksualitas hanya jadi instrumen kepentingan lain.

Masalah sosial pun dapat dipecahkan sejauh tercukupi kehendak baik orang-orang yang terlibat, tetapi kehendak baik itu bisa buyar ketika bersinggungan dengan seksualitas yang bikin orang tergagap-gagap itu. Polanya sama dengan problem bahasa tadi: seksualitas hanya jadi batu lompatan untuk kekuasaan atau kepentingan lain. Belakangan, misalnya, terbongkar aneka kasus yang melibatkan ranah agama dengan fokus persoalan seksualitas, seakan-akan akar persoalannya adalah perkara seksual dan agama jadi tamengnya. Akan tetapi, sebaliknya bisa terjadi loh: ada problem dengan agama dan perkara seksual hanyalah tameng atau simtom.

Itulah yang dicermati Ricoeur: ada persoalan dengan agama dalam memandang apa yang sakral dalam hidup ini sehingga ranah seksualitas terkena imbasnya (bdk. James B. Nelson, The Intimate Connection).

  1. Pada tahap primitif agama, tidak ada distingsi antara seksualitas dan mitos-ritual. Yang sakral itu melingkupi apa saja, termasuk seksualitas. Ingatlah misalnya gadis perawan yang dijadikan tumbal ritual dan tanpa perlawanan membiarkan imam menuntaskan hasrat yang dilegimitasi oleh paradigma mitis. Sexual intercourse jadi bagian adat atau tradisi penyucian, ‘banyak anak banyak rezeki’ jadi mandat religius, seksualitas jadi simbol kesuburan, dan seterusnya.
  2. Seiring dengan merebaknya agama-agama ‘mayor’, yang sakral itu tidak hanya dibedakan, tetapi bahkan dipisahkan dari seksualitas manusia. Tidak berhenti pada pemisahan dan membuat yang sakral itu sedemikian transenden dari seksualitas manusia, agama bahkan menentukan zone marking terhadap seksualitas, menggiringnya pada ranah mungil kehidupan manusia. Itu adalah ranah prokreasi, mesti didisiplinkan dalam tapal perkawinan. Agama seakan menundukkan seksualitas manusia dengan otoritas sakralnya.
  3. Tahap ketiga, yang sudah dirintis sejak revolusi seksual tahun 60-an, mengindikasikan gerahnya manusia pada relasi subordinatif yang sakral terhadap seksualitas akibat superioritas agama. Pada panggung ini, orang berhasrat mengembalikan fungsi seksualitas juga dalam ranah religius. Artinya, seksualitas kembali akur dengan agama tetapi dengan relasi yang lebih terkoordinasi sebagai simbiosis yang saling mengembangkan. Asumsinya: seksualitas mesti dikembalikan pada ranah pribadi (tidak sama dengan privat), difungsikan sebagai medium perjumpaan dan integritas antarpribadi.

Tiga tahap atau panggung itu bisa menerangi tiga paradigma van Peursen.

Barangkali dunia mitis itu seperti tape singkong: ragi sudah meresapi singkong dan tidak bisa lagi dibilang mana singkong mana ragi. Identitas keduanya menjadi tape. Manusia sebagai subjek dalam semesta juga demikian. Dalam paradigma mitis, yang sakral itu menjelma dalam semesta yang melampaui kemampuan manusia untuk memecahkannya. Manusia terjerembab dalam semesta dengan kekuatan gaib, magis, mistis seturut mitologi yang diceritakan secara turun temurun. Manusia mitis tahu adanya sesuatu, tetapi tak dapat menjelaskannya tanpa mitos.
Cara berpikir ontologis membuat jarak atau distansi antara objek dan subjek yang berusaha mencari pengetahuan. Manusia tidak begitu saja menerima mitos atau pasrah pada alam, tetapi mencari hakikat adanya sesuatu (ontos, Yunani: being, that which is) dan tatanannya. Agama yang punya klaim tentang hakikat semesta ditantang sains yang mencoba membongkar misteri hukum semesta dengan rasio. Sains berkembang pesat dan menempatkan manusia modern yang superior sebagai tuan atas semesta, bahkan atas klaim-klaim agama.
Cara pandang fungsional menanggapi problem paradigma ontologis yang memisahkan manusia dari objek pengetahuannya, dan subjeklah yang menentukan hakikat objek pengetahuannya. Padahal, kebenaran mutlak tak dapat direduksi dalam klaim agama atau sains. Paradigma fungsional mencari upaya untuk mengelola dunia dalam sifat relasional antara kenyataan yang satu dan yang lainnya. Manusia pascamodern tidak lagi mengandalkan kemutlakan hakikat sesuatu, tetapi menyadari konteks untuk mengartikan pengalamannya.

Silakan memberikan contoh bagaimana suatu hal atau persoalan ditanggapi atau dipecahkan dengan tiga model pikiran tadi:

Banjir bandang atau bencana alam lain adalah hukuman Allah terhadap manusia yang berdosa tiada habisnya [hanjuk yang terkena bencana itu seperti jatuh tertimpa tangga: sudah rumahnya hanyut atau hancur, masih pula dituduh berdosa gak habis-habis]. Solusinya, kasih sogok Allah dengan perbuatan baik supaya manusia tidak dihukum dengan bencana.


Cogito ergo sum (baca: kojito ergo sum, aku berpikir, maka aku ada). Banjir bandang atau bencana alam itu pasti terjadi karena ada sebab yang bisa ditelusuri dengan sains. Solusinya bergantung pada temuan sains: membuat sumur resapan, memperbanyak waduk penampungan air, menciptakan tol sungai, dan sebagainya.


Banjir bandang bisa juga terjadi karena human error. Maka, diperlukan kajian bukan hanya soal karakter air dan tanah, melainkan juga perilaku manusia. Perbuatan baik untuk ‘nyogok’ Tuhan tidak lagi semata ritual-ibadat, tetapi ikhtiar bersama untuk menata dunia baik-baik dan menghindari perilaku destruktif terhadap hutan, misalnya.