Seorang kawan meyakinkan saya bahwa bangsa ini ke depan perlu pemimpin yang strategis, bukan lagi pemimpin populis. Saya paham dan setuju, tetapi karena sosok pemimpin strategis yang didukungnya itu nganu, keyakinan saya juga ikut nganu. Saya pikir, dua ciri itu tak perlu dipertentangkan juga sih, dan karena kepemimpinan ini sifatnya kolaboratif, tak perlu juga membebankan kualitas strategis atau populis kepada satu orang. Coba jal, andaikanlah presidennya punya strategi pendekatan kultural dilakukan di Papua, termasuk misalnya membuka akses pada siapa pun untuk mengetahui bagaimana seluk beluk kesulitan hidup di Papua, dan militer atau pengusaha menutup aksesnya, mau jalan begimana itu strategi presidennya, bukan?
Tambah lagi, strategi itu memang berbau-bau militer sih. Targetnya jelas: kemenangan, atau minimal seri alias draw begitu. Akan tetapi, segera bisa ditanyakan: menang atas siapa atau apa? Partai lain, bangsa lain, tim lain, perusahaan lain? Apakah konstitusi bangsa ini memang ditujukan untuk jadi bangsa adikuasa? Mau menguasai seluruh dunia? Rasa-rasanya tidak, karena dalam Pancasila itu jelas tujuan akhirnya adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (itu arti atau pengandaiannya adalah di bumi ini keadilan sosial diperjuangkan di mana-mana).
Tentu, tegangan strategis atau populis itu bukan tegangan baru. Juga dalam teks-teks bacaan Injil minggu lalu dan minggi unu, eh minggu ini, tegangan seperti itu ditampilkan. Minggu lalu, Petrus mendeklarasikan Yesus sebagai capres, dan segera Yesus memberi catatan supaya jangan bilang siapa-siapa. Catatan Yesus ini tak hendak menyangkal bahwa dia capres, tetapi mengindikasikan bahwa capres yang dia maksud itu berbeda sama sekali dari capres Petrus. Capres yang dimaksud Petrus justru capres populis. Artinya, orang pada umumnya memahami presiden saat itu sebagai pemimpin yang bisa membebaskan mereka dari penjajahan. Bukan sesuatu yang jelek, tetapi itu bukan akar persoalannya karena penjajahan pun bisa dilakukan oleh orang sendiri.
Teks bacaan hari ini menunjukkan akar persoalannya. Yesus mempertontonkan strateginya: dia mesti pergi ke Yerusalem! Itu seperti pusat alias ibu kota negara, yang disetir oleh kekuatan penjajah imperial Roma. Apakah dia mau menundukkan Yerusalem? Ya, tetapi tidak dalam arti militeristik atau kapitalistik: ia justru menundukkan dirinya sendiri. Ia begitu yakin bahwa ia akan ditangkap dan dibunuh. Itulah salibnya: bahwa ia mesti membuat pilihan dan pilihan itu mesti ada konsekuensinya bagi dirinya juga.
Petrus rupanya belum paham juga dengan pilihan Yesus sehingga dia malah berantem dengan Yesus dan kali ini Yesus tanpa tedeng aling-aling menyebut Petrus sebagai iblis yang menhalang-halangi strategi nonpopulis Yesus itu. Ketika kebanyakan orang memilih strategi pemenangan ala militer atau kapital, Yesus menjatuhkan pilihan untuk mengcounternya dengan hidupnya sendiri: ia menyangkal diri yang direpresentasikan oleh keyakinan populer “semua orang juga begitu” dan mengambil jalannya untuk menusuk korupnya pemimpin, mulai dari pimpinan partai, pemungut pajak, sampai gubernur dan presidennya!
Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan dan keberanian untuk memilih apa yang lebih menyenangkan hati-Mu daripada apa yang lebih menyenangkan penguasa-penguasa strategi korup. Amin.
MINGGU BIASA XXII A/1
3 September 2023
Yer 20,7-9
Rm 12,1-2
Mat 16,21-27
Posting 2020: Dominasi
Posting 2017: Kompromi, Penderitaan, Kehendak Allah
Posting 2014: Iblis Itu Ialah…
