Buta

Published by

on

Saya singgung dalam posting Iman Tipis2 bahwa para murid melihat bagaimana Yesus ke Yerusalem untuk cari mati. Betul, Yesus tampaknya dengan sengaja ambil risiko kematian. Tiga kali dia bilang ke murid-muridnya bahwa dia akan diserahkan kepada para penguasa agama dan dibunuh; tiga kali pula murid-muridnya tak paham.

Saya juga sebetulnya tak paham, ngapain dia mesti cari mati di Yerusalem?
Ya gitu, Rom. Dia mati untuk menebus dosa manusia!
Itu kata guru agama atau katekis atau romo atau dosen teologi Anda, bukan?
Di seluruh tulisan Markus, hanya dua frase yang menyokong jawaban itu (Mrk 10,45 dan 14,24), tetapi jika konteks tulisan Markus diperhatikan secara komprehensif, jelaslah bahwa ‘menebus dosa manusia’ itu adalah refleksi teologis kemudian, yang dilakukan oleh pengikut Yesus (termasuk Paulus).

Tentu, Anda yang mengikuti kekristenan mengadopsi refleksi teologis itu: Yesus mati untuk menebus dosa manusia. Akan tetapi, Anda tak bisa berhenti di situ dan perlu menggali lagi apa artinya ‘menebus dosa’ itu dan penggalian itu mengandaikan Anda perlu mempertimbangkan konteks hidup Yesus dan hidup Anda sendiri. Celakanya, konteks hidup Yesus juga tidak mungkin Anda pahami tanpa bantuan refleksi teologis para muridnya, termasuk Paulus tadi.

Tapi gak apa-apa, yang penting Anda sadar bahwa pemahaman Anda dipengaruhi oleh refleksi teologis pendahulu Anda (dari penulis kitab suci sampai para kudus zaman now), Dalam kesadaran itu perlu Anda masukkan upaya sebisa Anda untuk memahami konteks hidup Yesus dan konteks hidup Anda yang pastilah berbeda. Dari perbedaan itulah nantinya Anda dapat menemukan insight yang barangkali mengubah orientasi dasar hidup Anda.

Dalam kelanjutan teks bacaan hari ini (Mrk 11,11-26) kelihatan di Yerusalem memang Yesus cari gara-gara dengan bikin keributan. Bayangkan, cari gara-gara di situs pusat keagamaan, perekonomian, dan politik bangsa Israel di bawah imperialisme Romawi! Itu pasti memantik kegeraman kelompok status quo, yang tentulah hendak melanggengkan kekuasaan.

Nah, dalam bingkai itulah saya bisa mengerti mengapa kebaikan Yesus untuk menyembuhkan orang sakit, mengusir setan, mengampuni dosa, itu semua jadi persoalan. Ini perkara kekuasaan. Mari lihat bagaimana Yesus sejak awal sudah punya perseteruan dengan para penguasa. Dimulai dengan Yohanes yang membaptisnya, yang sama-sama punya agenda pewartaan supaya orang Israel bertobat. Yohanes Pembaptis dibunuh penguasa politik.

Mengampuni dosa, itu privilese Allah, sebagaimana didoktrinkan oleh penguasa agama, tetapi Yesus malah omong di hadapan publik bahwa pengampunan dan kesembuhan itu satu paket dalam tindak penyembuhannya. Nota bene, yang punya otoritas untuk menyatakan orang sembuh dari sakit yang menajiskan itu adalah para imam. Yesus bisa-bisanya menyembuhkan orang sakit; ini pelanggaran otoritas.

Nah, kalau semakin banyak orang mengalami perubahan hidup gara-gara Yesus ini, bukankah otoritas mereka terancam? Kalau orang-orang itu sampai bersatu dan bikin persekongkolan dan gerakan massa, apakah itu tak membahayakan posisi mereka di mata imperialis Romawi? Imperial Roma punya ideologi pax romana, seluruh wilayah kekuasaan Roma mestilah stabil politiknya; ada keributan sedikit, pimpinan wilayah bisa dicopot jabatannya. Dicopot jabatan ya berarti seluruh tunjangan hidup dari jabatan itu hilang.

Tidaklah fair mengulas tulisan Markus secara utuh dalam posting ini, tetapi cukuplah dimengerti bahwa narasi kesembuhan orang buta yang mengikuti Yesus dalam perjalanannya itu adalah alusi ketercelikan orang dari aneka kekuatan eksternal yang membutakan hidupnya. Status quo bertendensi membutakan hidup orang. Tak perlulah jauh-jauh, Anda dan saya punya comfort zone dan bisa jadi kita melindungi zona nyaman itu. Kalau zona nyaman itu hanya perkara selera, tentu bukan problem besar. Akan tetapi, jika selera itu nyangkut kekuasaan, ini tidak main-main. Jika orang menganggap kekuasaan ini perkara main-main, bisa jadi ia naif terhadap status quo.

Itulah yang rupanya disasar Yesus dalam gerakannya: dia melawan tendensi status quo kekuasaan; itu berisiko antipati dari siapa saja yang diuntungkan oleh status quo. Antipati bisa juga berujung pada rajapati dan sejarah negeri ini sudah memberi begitu banyak contoh. Memang rupanya butuh keberanian juga untuk membuka mata dan tidak jadi follower buta. 

Tuhan, mohon rahmat keberanian untuk menyuarakan keadilan-Mu. Amin.


KAMIS BIASA VIII B/2
30 Mei 2024

1Ptr 2,2-5.9-12
Mrk 10,46-52

Kamis Biasa VIII B/2 2016: Broken Home
Kamis Biasa VIII B/1 2015: Untuk Apa Minta Sembuh?

Previous Post
Next Post