Ngotot

Published by

on

Orang Yahudi pada zaman Yesus mengenal empat bangsa ‘tambang’: mineral, flora, fauna, dan manusia. Bangsa mineral, jelas. Bangsa flora dan fauna juga. Yang gak jelas adalah bangsa manusia yang memang nyerempet2 fauna tetapi tidak bisa disamakan dengan fauna begitu saja. Alhasil, tidak gampang ‘menambang’ manusia. Itu mengapa, kemanusiaan yang adil dan beradab tidak otomatis jelas begitu saja.

Teks Injil hari ini menarasikan perseteruan orang Yahudi dengan Yesus. Nota bene ya, istilah ‘orang Yahudi’ dalam Injil ini tidak merujuk pada konsep modern mengenai bangsa. Soalnya, Yesus sendiri kan juga bagian bangsa Yahudi. ‘Orang Yahudi’ ya tak lain dari mereka yang terus-menerus berseteru dan tak pernah terima Yesus. Ini beneran berseteru, bukan lagi sekadar menggerutu atau bersungut-sungut seperti dinarasikan dalam terjemahan bahasa Indonesia.

Kenapa mereka berseteru dengan Yesus? Pertama, karena Yesus bikin klaim bahwa roti dari surga itu adalah dirinya sendiri! Padahal, semua orang juga tahu, bahwa roti dari surga itu adalah Hukum Taurat yang diberikan Allah kepada bangsa Yahudi lewat Musa. Nota bene juga, Hukum Taurat diterima sebagai roti dari surga karena dengan roti itu mereka bisa masuk dalam bangsa keempat tadi: manusia. Yes, manusia tidak membunuh, karena membunuh itu karakternya binatang, itu juga mungkin tak semua binatang. Manusia tidak berbohong karena tipu muslihat itu adalah wataknya rubah. Manusia beranak pinak bukan semata demi menjaga keturunan, dan bahkan angsa pun memberi teladan kesetiaan pada pasangan dan keluarga. Begitu seterusnya.

Nah, bangsa Yahudi begitu bangga dengan Hukum Taurat yang mereka terima. Sedemikian bangganya sehingga kebanggaan itu menjelma jadi kesombongan dan eksklusif: tidak ada bangsa lain yang mendapat privilese seperti bangsa Yahudi. Pada awal bab 4 Kitab Ulangan ditunjukkan nuansa itu: mana ada bangsa lain yang punya Tuhan sedekat Allah orang Israel dan hukumnya seadil Hukum Taurat! Bisa dimengerti, sampai sekarang, replika Hukum Taurat itu mendapat penghormatan luar biasa.

Kedua, saya kira, karena orang Yahudi itu tak siap untuk masuk ke kebangsaan manusia yang disodorkan Yesus: bukan lagi semata mengampuni tujuh puluh kali tujuh kali, melainkan pengampunan tanpa syarat; bukan lagi semata gigi ganti gigi, melainkan berikan juga pipi kiri alias tanpa dendam; dan seterusnya. Dengan demikian, ‘orang Yahudi’ berarti adalah siapa saja yang berpuas diri dengan keyakinannya sendiri tanpa sadar akan kerapuhan hidup ini. Itu artinya ‘orang Yahudi’ bisa beragama apa pun; bisa saja terima baptisan, tetapi hidupnya tak juga bersentuhan dengan ‘daging’ yang diwacanakan Yesus dalam teks hari ini.

Di situ, pembaca modern punya masalah karena ‘daging’ dimengerti sebagai jaringan otot. Kultur Semitik paham betul bahwa kedagingan itu perkara kefanaan, perkara kerapuhan, yang bisa lenyap. Alhasil, kalau Yesus menyebutkan frase ‘makan dagingku’, itu tak lain dari menerima roti hidup dalam kerapuhan manusiawi; dan itulah susahnya: bagaimana mungkin Allah yang sempurna itu masuk dalam keterbatasan ‘daging’ manusia?

Sebetulnya, itu mungkin saja: ketika dalam kerapuhan hidup ini, Anda tetap jadi ‘penurut Allah’ sebagaimana dinarasikan dalam bacaan pertama: Elia sudah merasa kelar dengan hidupnya, tetapi toh tetap manut saja pada kehendak Allah. Tentu, kita bukan Elia, tetapi kita pun rapuh seperti Elia. Kabar buruknya: meskipun orang rapuh, insting kebinatangannya bisa mendorongnya ngotot kepada proyeknya sendiri daripada mendengarkan tuntunan Allah.

Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan untuk melihat tuntunan-Mu dalam kerapuhan hidup kami. Amin.


HARI MINGGU BIASA XIX B/2
11 Agustus 2024

1Raj 19,4-8
Ef 4,30-5,2
Yoh 6,41-51

Posting 2015: Walk the Talk

Previous Post
Next Post