Darurat

Published by

on

Pemakaian lampu hazard kendaraan di setiap perempatan jalan mungkin menunjukkan ketidaktahuan pengendaranya mengenai fungsi lampu hazard. Mungkin bahkan tidak tahu apa artinya hazard. Anda tentu bisa berkelit: bukankah memang setiap saat, setiap momen itu sudah dengan sendirinya terbuka pada bahaya? Jadi, pemakaian lampu hazard terus-terusan justru mau mengatakan bahwa hidup manusia itu selalu rentan terhadap bahaya. Betul sekali, tetapi penggunaan lampu hazard yang diobral itu membuat pemakainya menjadi bagian dari bahayanya, bukan bagian pencegah bahaya.

Paralel dengan itu, kata darurat yang diobral bisa menghilangkan makna darurat itu sendiri [sebagaimana Anda mengobral kata cinta, itu bisa mengabrasi cintanya sendiri]. Akibatnya, orang sudah tidak lagi melihat sifat darurat. Contohnya kembali ke lampu hazard tadi, jika diletakkan dalam konteks etika, bisa jadi orang tak mengerti lagi maksud moral hazard, saking (dianggap) lumrahnya penyelewengan moral.

Barangkali demo beberapa hari lalu berguna juga untuk mengingatkan adanya darurat, yang sesungguhnya sudah diantisipasi jauh hari sebelum pilpres lalu. Apakah memang negeri ini ada dalam kondisi darurat? Bergantung sudut pandang dan tolok ukurnya apa. Yang berkepentingan dengan kekuasaan, dua bulan ke depan mungkin jadi darurat. Yang tidak berkepentingan dengannya mungkin sudah menempatkan diri sebagai pelanduk di antara gajah-gajah yang berkelahi. Siapa pun pemenangnya, dia akan tergencet dan mungkin mati.

Suara akademisi saya kira tidak mengambil sudut pandang kepentingan kekuasaan, tetapi bagaimana kekuasaan itu dijalankan; jika aturan main diutak-atik mengikuti gelojoh kekuasaan, tentu situasinya jadi darurat. Ironisnya, korban propaganda kekuasaan tidak akan bisa melihat situasi darurat sebelum keadaannya luluh lantak dan penyesalan yang tiada guna selalu datang belakangan.

Teks-teks bacaan hari ini menyodorkan nuansa darurat. Bangsa Israel ditantang untuk memilih antara ikut menyembah ilah atau mengabdi Allah Israel. Para rasul ditantang Yesus untuk memilih antara mengikuti dia dan mengikuti banyak murid lain yang mulai meninggalkan koalisi karena beratnya taat pada konstitusi #eh inspirasi ilahi. Nah, kalau sudah berurusan dengan yang ilahi begini, bangsa manusia njuk besar kepala untuk mengklaim inspirasi itu, seakan-akan inspirasi itu hanya muncul lewat bangsanya, lewat (tokoh) agamanya, lewat keluarganya, dan seterusnya.

Bacaan kedua menunjukkan bahwa inspirasi ilahi itu tidak bisa lagi searah, tetapi dicari dalam komunikasi dua arah: cinta total suami, ketundukan istri. Tidak ada ceritanya istri harus tunduk kepada suami yang tidak total mencintai istrinya. Gak ada kamusnya suami yang harus mencintai istrinya secara total sementara istri seenak udelnya sendiri, tak tunduk pada suami. Jika gambaran yang dipakai tak terbatas pada suami-istri, bisa jadi ini bukan lagi perkara komunikasi dua arah, melainkan komunikasi segala arah.

Dibutuhkan kerendahhatian untuk komunikasi semacam ini. Meskipun orang bisa mengklaim anu is the best atau anu is the only one, orang tak bisa memahami anu tanpa komunikasi dengan mereka yang tidak mengklaim anu. Contohnya, Anda bisa mengklaim bahwa satu-satunya anak tukang kayu yang Anda percaya adalah Yesus, tetapi tanpa memperhatikan catatan “Jangan mempertuhankan Yesus“, Anda tidak sungguh-sungguh memahami, apalagi mengikuti Yesus. Bisa jadi Anda hanya mengikuti propaganda kultus individu; dan seperti tadi saya ketik: korban propaganda tidak bisa melihat situasi darurat, juga dalam hidup beriman.

Tuhan, mohon rahmat kepekaan supaya gaya hidup kami dapat mencerminkan cinta-Mu bagi manusia lemah. Amin.


HARI MINGGU BIASA XXI B/2
25 Agustus 2024

Yos 24,1-2a.15-17.18b
Ef 5,21-32
Yoh 6,60-69

Posting 2021: Krisis
Posting 2018: Kejujuran Jadi Museum?

Previous Post
Next Post