Nongol lagi dalam terjemahan teks bacaan hari ini kata “bersungut-sungut”. Padahal, kandungan kata kerja aslinya sana lebih tegas: menolak. Kerumunan para murid tidak hanya berkeluh kesah, tetapi menolak pengajaran Guru dari Nazareth. Terlihat dari komentar mereka: perkataan ini keras, siapa yang sanggup mendengarkannya? Kenapa keras ya? Mereka mencium bau klaim Guru dari Nazareth sebagai inkarnasi Sabda Allah. Bagi mereka ini sudah merupakan penistaan agama, wong Sabda Allah itu sudah tertuang dalam Taurat. Tak heran, mereka meninggalkan Guru dari Nazareth ini, tidak lagi mengikutinya.
Nah, dua belas murid masih tinggal, dan ditanya Guru mereka,”Kalian gak mau pergi juga?” Akan tetapi, Petrus menjawab seakan-akan tidak tahu lagi mau ke mana dan mereka toh percaya bahwa guru mereka ini orang kudus dari Allah. Jangan salah, itu tidak berarti bahwa Petrus dan kawan-kawannya mengerti perkataan Guru mereka. Seperti orang banyak, mereka pun salah paham dan belakangan baru ngeh apa artinya mengikuti Guru dari Nazareth [njuk lari tunggang langgang menanggung konsekuensi yang tidak lunak atau ringan].
Orang banyak yang mengikuti Guru dari Nazareth salah paham, mengira bahwa Guru dari Nazareth ini adalah Ratu Adil yang akan menghandle problem-problem mereka, termasuk dalam ranah politis. Dia sendiri, sebagai raja, akan mampu membereskan kekacauan hidup dalam masyarakat. Ternyata, ceritanya tidak begitu. Guru dari Nazareth, meskipun dapat melakukan aneka mukjizat, hanya menyodorkan kebijaksanaan ilahi yang nantinya mesti dihidupi oleh setiap orang. Dengan kata lain, Guru dari Nazareth ‘hanya’ memberi teladan bagaimana Sabda Allah itu diterapkan dalam hidup: ada harga yang mesti dibayar. Jebulnya ya harus berjuang juga membangun dunia; lha ngapain mesti mengikuti Guru dari Nazareth ini kan? Tinggal aja.
Hal serupa terjadi juga dalam diri para murid ring satu. Seandainya mengikuti Guru dari Nazareth ini hanya perkara ritual, ziarah, nyonya-nyanyi tepuk tangan gembira ria, tentu kecillah. Itu praktik religius yang baik, tetapi tidak cukup membenturkan orang pada perkataan keras Sabda Allah yang disodorkan Guru dari Nazareth. Begitu pula kalau murid zaman now memahami ‘mengikuti Kristus’ sebagai ikut misa nan menyejukkan, alim, adem ayem: ia belum masuk dalam misteri Ekaristi yang sesungguhnya, yaitu mengasimilasi proposal yang disodorkan Guru dari Nazareth tadi. Apa proposalnya? Bukan untuk mengeksploitasi bumi, melainkan merawat bumi; bukan untuk mendapatkan privilese, melainkan untuk memberikan layanan terbaik. Singkatnya: seperti sosok yang diikuti, para murid Guru dari Nazareth ini mesti berani memberikan diri, memberikan hidupnya. Ini keras.
Tak mengherankan juga, Guru dari Nazareth menanting murid pilihannya yang sebetulnya juga mengalami krisis. Krisis itu tak lain adalah suatu discernment karena memang pada momen itu orang mesti menjatuhka pilihan. Celakanya, pilihan yang disodorkan Guru dari Nazareth tak pernah merupakan pilihan gampang karena ujung yang menanti ialah pemberian diri. Hanya yang dapat menaati Roh yang bekerja dalam dirinya, orang akan keluar dari krisis untuk mengkonstruksi dunia yang hendak dihidupinya. Orang beriman seperti ini tidak melemparkan tanggung jawab pada kekuasaan Allah. Ia mengambil tanggung jawab dan bertekun untuk merealisasikan dorongan Roh Kudus dalam hidup konkretnya.
Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan untuk mengambil keputusan semata seturut gerakan Roh yang kaucurahkan dalam diri kami. Amin.
HARI MINGGU BIASA XXI B/1
22 Agustus 2021
Yos 24,1-2a.15-17.18b
Ef 5,21-32
Yoh 6,60-69
Categories: Daily Reflection