Beberapa tahun yang lalu Paus Fransiskus pernah menyampaikan kritik kerasnya terhadap Gerejanya sendiri. Tentu, beliau mengkritik (lebih dulu) dirinya sendiri, bukan karena beliau melakukan kejahatan, melainkan karena beliau adalah bagian dari struktur yang di dalamnya terjadi tindak kejahatan. Salah satu hasil autokritiknya ialah bahwa segala bentuk klerikalisme mesti dilawan. Itu juga mengapa beliau melontarkan kata-kata yang bagi penghayat klerikalisme bikin telinga panas: who am I to judge?
Lah, kan pemimpin umat Katolik sedunia, jadi punya kuasa dong untuk menghakimi siapa yang melanggar hukum Gereja?
Haiya justru itu problemnya: seakan-akan Gereja Katolik itu cuma Paus semata sehingga beliaulah pemegang kuasa absolut untuk mengontrol hidup anggota-anggotanya.
Lho ya kan pakai penasihat juga, Rom, bukan beliau sendiri. Ada hirarki.
Iya, tetap poinnya ialah bahwa Gereja (Katolik) itu direduksi pada kelompok jajaran elit: mereka yang berpengetahuan, mereka yang berjabatan, mereka yang bermodal, dan seterusnya.
Guru dari Nazareth dalam teks bacaan hari ini menyisipkan kritik terhadap ahli kitab suci dan kaum Farisi yang menikmati klerikalisme itu: privilese untuk berkata-kata, memberi nasihat, dan untuk menghindarkan diri dari kewajiban yang ditimpakan bagi orang lain!
Apakah ini berlaku hanya bagi ahli kitab suci, kaum Farisi, paus dan hirarki Gereja Katolik? Ya jelas tidak toh.
Perkara kekuasaan dan keterbatasan kontrolnya ini bisa hidup di mana saja, entah lembaga religius atau lembaga yang tidak religius. Bukankah setelah virus covid menyebar dari Sabang sampai Merauke itu problem check and balance bikin runyam orang awam yang tak tahu menahu mengenai kerjaan virus ini? Klerikalisme bisa merambah ranah farmasi, hukum, kedokteran, militer, pemerintahan, bahkan pendidikan. Penyalahgunaan kekuasaan sangat bisa terjadi di sana. Lebih mantap lagi kalau orang awam yang tak tahu menahu persoalannya bersikap masa bodoh dan menempatkan posisi elit kepada orang-orang tertentu, dan paling mantap kalau posisi macam itu diklaim sebagai “kehendak ilahi” atau takdir atau “wakil Allah” dan sejenisnya.
Ini tidak untuk melepaskan diri dari autokritik ya. Saya sadar, sekurang-kurangnya dalam diri saya, potensi klerikalisme itu sudah ditebarkan benihnya dalam pendidikan pesantren Katolik saya: dikhususkan untuk jadi imam, jadi spesial, punya privilese, jadi berbeda dari remaja lainnya. Gejalanya mungkin bisa diamati dari kegemaran orang dengan seragam untuk membedakan dirinya dari mereka yang tak berseragam! Memang mereka berbeda sih, tetapi kalau pembedaannya jadi ideologis [alih-alih fungsional], ujungnya ya klerikalisme itu. Setelah jadi pastor, orang bisa otoriter, tidak terima kritik, ambil kebijakan dan keputusan sendiri, benar-benar bisa jadi kéré munggah balé! Ini klop dengan mentalitas umat yang pastorsentris: dasarnya malas juga untuk mendalami imannya sendiri, njuk semua-muanya dilimpahkan kepada pastor. Semua ngikut apa kata pastor dah!
Ya Allah, mohon rahmat kerendahhatian supaya privilese karunia hidup dari-Mu sungguh dapat kami manfaatkan untuk kebaikan sesama, untuk kemuliaan-Mu semata. Amin.
HARI SABTU BIASA XX B/1
Peringatan Wajib S. Pius X
21 Agustus 2021
Rut 2,1-3.8-11;4,13-17
Mat 23,1-12
Sabtu Biasa XX A/1 2017: Guru Kok Libur
Sabtu Biasa XX C/2 2016: Sikat-sikatan
Sabtu Biasa XX B/1 2015: Bahayanya Seragam
Sabtu Biasa XX A/2 2014: Gajah Diblangkonin…
Categories: Daily Reflection