God’s Image

Dulu sekali saya pernah mengungkapkan keyakinan saya bahwa iman itu lebih dari perkara teknis menuruti petunyuk.  Hal serupa saya kira juga berlaku untuk cinta: lebih dari perkara teknis menyenangkan orang lain.
Begitulah saya membaca teks bacaan kedua pada hari ini. Kedua perintah yang disebutkan Guru dari Nazareth itu bukan perintah baru. Orang Yahudi setiap hari melantunkannya sebagai rumus doa, bahwa Allah itu esa dan manusia mestilah mengasihi-Nya dengan segenap kekuatan yang ada; dan cinta itu tidak nyata tanpa wujud cinta kepada sesama. Bagi orang Farisi dan Saduki yang berusaha menjatuhkan wibawa Sang Guru, petunjuk itu sudah jelas.

Orang Farisi dan Saduki tentulah orang yang sejak kecil sudah dibiasakan untuk menanamkan dalam diri mereka perkara-perkara Allah sebagaimana ditunjukkan dalam kitab suci mereka. Ya betul, mereka punya pandangan yang berlawanan mengenai kebangkitan, tetapi soal perbedaan itu tak seberapa dibandingkan dengan kepentingan mereka untuk membungkam orang baru yang mengajarkan ‘agama’ baru ini. Lha di mana kebaruannya toh, wong tadi rangkuman yang disampaikannya juga sudah diketahui orang banyak?

Sebetulnya kata cinta yang dipakai di situ ada kebaruannya, tetapi karena saya tak menguasai bahasa Ibrani, saya tak bisa menjelaskannya. Hanya saja, bisa saya mengerti bagaimana Guru dari Nazareth itu menghadapi dua kelompok orang yang senantiasa memburunya. Ia tak hendak berpolemik dengan mereka, tetapi berusaha, dengan caranya, supaya mereka terbebaskan dari gambaran Allah yang sudah tertanam sejak kecil: sosok ilahi yang mahadahsyat yang mesti dipatuhi, ditaati, yang kepadanya orang mesti tunduk.

Saya kira itu ada benarnya (bahwa Allah memang mahadahsyat dan mesti dipatuhi), tetapi yang disodorkan Guru dari Nazareth ini sesuatu yang melampaui penghayatan itu. Baginya, ‘ketaatan’ kepada Allah itu malah menempatkan orang pada oposisi dengan Allah. Kasarnya, orang cuma bisa taat pada iblis atau setan, dan sebaliknya, iblis pun bisa taat kepada Guru dari Nazareth itu.
Akan tetapi, Allah tidak dalam keadaan oposisi dengan manusia justru karena Allah memang mencintai manusia; dan karena itu, kalau manusia mencintai Allah, seyogyanya ia tidak mengambil oposisi dengan Allah.

Loh lha iya Rom, makanya supaya gak beroposisi dengan Allah, manusia kudu taat kepada Allah. Kan gitu toh?
Ya bisa sih dipahami begitu, tetapi itu bikin persoalan dengan kebebasan manusia: Allah menentukan segala, dan manusia mesti manut. Itu mengapa orang ateis getol melawan paham Allah seperti ini; karena kepercayaan kepada Allah menghancurkan harga diri, martabat manusia!

Guru dari Nazareth memakai kata cinta dengan nuansa lain: bukan upaya menaati Allah, melainkan transformasi diri supaya hidupnya menyerupai sifat-sifat Allah. Memang di situlah jembatan cinta kepada Allah dan sesama: menampilkan wajah Allah dalam hidup konkret.
Lha konkretnya apa, Rom?
Ha ya goleki dhéwé no, kalau saya carikan nanti jadinya topeng belaka.

Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan untuk menangkap wajah-Mu dan menampakkannya dalam hidup kami juga. Amin.


JUMAT BIASA XX B/1
PW S. Bernardus, Abas
20 Agustus 2021

Rut 1,1.3-6.14b-16.22
Mat 22,34-40

Jumat Biasa XX C/1 2019: UAS Belum Selesai
Jumat Biasa XX A/1 2017: Saracen Kekasihku Berkhianat

Jumat Biasa XX C/2 2016: Hadiah

Jumat Biasa XX B/1 2015: Apa Sih Yang Kamu Cari, Cin?