Sebetulnya saya sudah bosan UAS; rasanya 75% hidup saya isinya ujian melulu, bahkan bacaan hari ini memuat tes juga.😂😂😂 Tapi apa daya, di medsos ya masih bersliweran soal UAS. Entah sampai kapan bangsa ini doyan politik identitas agama; mungkin sampai orang beragama ngerti betul apa itu agama sehingga tak kewowogên lagi.
Guru dari Nazareth dalam teks hari ini dites ahli kitab untuk menjawab hukum yang terutama dalam agama. Tidak diketahui hasil tesnya, tetapi menurut tradisi Kristen, hasil tes itu berpengaruh juga pada kebencian para pemuka agama sampai ia mati di salib (wah nongol lagi aja nih barang). Kok mau-maunya ya Guru dari Nazareth itu konsisten dengan jawaban tesnya? Jangan-jangan memang mereka yang setia pada mengasihi Allah dan manusia itu malah memang tragis hidupnya! Ya, jangan-jangan begitu.
Akan tetapi, apakah orang yang hanya setia mengasihi Allah tidak juga mengalami tragedi hidup? Apakah orang yang hanya setia mengasihi manusia itu tidak tragis juga hidupnya?
Ho’o ya? Jadi, jangan-jangan hidup ini ya memang tragedi!😂😂😂 Kemarin anak perempuan Yefta menangisi kegadisannya. Hari ini dikisahkan Naomi kehilangan suami dan kedua anaknya, plus satu menantunya yang kembali ke tanah asalnya setelah kematian anak Naomi, suaminya (bingung gak?). Ini tragis.
Akan tetapi, di balik tragedi itu ada kenyataan lain yang memberi harapan: Rut tidak mau meninggalkan Naomi untuk kembali ke tanah asalnya seperti dilakukan Orpa, iparnya. Dia bilang kepada Naomi,”Bangsamulah bangsaku, Allahmulah Allahku.” Apa ada orang yang sekarang bisa berkata seperti itu? Ya mestinya ada, tetapi mungkin lebih banyak yang seperti soal UAS: bangsamu bukan bangsaku, Allahmu bukan Allahku; dan itulah yang tadi saya maksudkan sebagai politik identitas agama. Adanya cuma bikin esmosi jiswa.
Akan tetapi, ini catatan saya yang mungkin baik disimak: emosi jiwa lantaran singgungan identitas agama itu indikator orang masih hidup dalam kungkungan politik identitas agama. Ini saya beri contoh konkret sekali: Anda dihina secara keji sebagai orang Katolik, lalu Anda membuat konferensi pers (gak selebay itu sih) mengatakan sesuatu yang intinya,”Karena Katolik mengajarkan untuk mengampuni tanpa batas, saya tidak akan membalas penghinaan itu.”
Apakah Katolik memang mengajarkan pengampunan tanpa batas? Memang. Pernyataan itu sama sekali tidak keliru. Akan tetapi, dalam pernyataan itu identitas Katolik ditonjolkan. Padahal, agama-agama lain juga mengajarkan pengampunan tanpa batas. Artinya, pernyataan tadi tidak sensitif terhadap “Allahmulah Allahku” Rut tadi.
Njuk gimana dong, Rom, biar tidak masuk dalam politik identitas agama tadi?
Ya katakanlah “Allahmulah Allahku” itu, tentu dengan rumusan yang sesuai. Misalnya,”Saya meyakini pengampunan tanpa batas, saya tak akan balas dendam.”
Itu sama sekali tidak mengingkari kekatolikan, keislaman, kehinduan, dan keagamaan Anda, malah membuat agama Anda jadi konkret! Yang membuat Anda mengampuni tanpa batas bukan agama, melainkan Dia yang ditunjukkan agama.
Rut memberi contoh jawaban Guru dari Nazareth: My neighbor reveals my God to me. God reveals himself to me in my neighbor. Allah bukan “di luar sana”, tetapi juga bukan “di dalam sini”, melainkan dalam relasi. Amin.
JUMAT BIASA XX C/1
23 Agustus 2019
Rut 1,1.3-6.14b-16.22
Mat 22,34-40
Jumat Biasa XX A/1 2017: Saracen Kekasihku Berkhianat
Jumat Biasa XX C/2 2016: Hadiah
Jumat Biasa XX B/1 2015: Apa Sih Yang Kamu Cari, Cin?
Categories: Daily Reflection