Mungkin sudah sejak Sekolah Dasar Anda mempelajari fatamorgana, termasuk dengan mengamati fenomena jalan aspal yang kubangan airnya secepat kilat lenyap meskipun sistem drainasenya buruk. Cukup dengan mendekatinya, kubangan air hilang dengan sendirinya. Akan tetapi, bisa jadi loh orang tidak mendapatkan manfaat dari pengetahuan itu sampai ia kasmaran dan mendapati bahwa objek kasmarannya jebulnya fatamorgana. Sakitnya tuh di mana gitu. Padahal, kalau saja orang sudah biasa bracketing terhadap apa saja yang kasatmata, ia tak perlu menanggung derita sedikit pun.
Salah seorang dosen saya menyitir The Parable of Me and Mine untuk mengatakan bahwa pada saatnya penderitaan itu bisa membuka mata orang bahwa atribut ‘me’ atau ‘mine’ itu sama sekali tidak relevan. Ceritanya anak-anak bermain di tepi sungai membuat istana pasir dan masing-masing sibuk dengan benteng pasirnya. Salah seorang anak menendang istana pasir temannya dan dipukulilah beramai-ramai anak itu karena merusak ‘istanaku’ alias ‘merusak identitasku’. Itulah akibat menyinggung apa yang disebut ‘milikku’, sesuatu yang sebetulnya aneh karena tak satu pun dari anak-anak itu yang membeli pasir di pinggir kali itu. Setelah gelap, mereka pulang ke rumah masing-masing dan tak ada lagi yang peduli pada apa yang terjadi pada ‘istanaku’ tadi. Mungkin anak yang babak belur tadi menendang lagi istana pasir yang dibuat temannya…
Begitulah, atribut ‘me’ dan ‘mine’ dalam metafora yang dibuat seorang Buddhis itu tak relevan dan malah bikin hidup berantakan. Itu juga sebetulnya fatamorgana, sebagaimana toleransi bisa jadi fatamorgana [heran, kayaknya saya itu sirik banget sama toleransi]. Mari kita praktikkan saja ya. Mulai dengan meme berikut ini.
Pembaca bisa membuat framing seturut kepentingannya masing-masing terhadap kartun tersebut. Bisa jadi kartun ini disangkut pautkan dengan kasus Ujian Akhir Semester bagi Ahok, misalnya. Ahok dulu begitu kok Ujian Akhir Semester sekarang begini. Framing itu, menurut saya, masuk akal.
Akan tetapi, persoalan saya, dari mana datangnya label mayoritas-minoritas dan mengapa mayoritas di sebelah kiri? Nanti lebih ngeri lagi kalau ketambahan label Islam dan Kristen/Katolik seakan-akan Islam mayoritasnya dan Kristen/Katolik minoritasnya!
Loh, memang betul kan, Rom, di Indonesia ini Islam mayoritas dan Kristen/Katolik gak sampai 10%?
Hahaha…. lha ya itu yang dari dulu sudah saya bilang: Anda itu beragama mau berkuantitas atau berkualitas?
Ya tapi kan de facto pendirian rumah ibadat Kristen/Katolik lebih (diper)sulit daripada tempat ibadat Islam?
Oke, baiklah, kita masuk ke situ. Siapa yang dipersulit dan mempersulit izin pendirian rumah ibadat itu? Orang yang beragama kuantitas atau berkualitas?
Kalau kembali ke metafora Buddhis tadi, saya yakin, itu ranah orang-orang yang beragama dengan framing kuantitas, apa pun nama agamanya. Betul negara ini memang punya preferensi terhadap agama tertentu sehingga di sana-sini bisa terjadi bias mayoritas, tetapi yang membuat preferensi itu adalah orang-orang yang hidup keagamaannya jauh dari kenyataan, yang lebih suka fatamorgana mayoritas-minoritas. Jadi, persoalannya bukan agama mayoritas-minoritas, melainkan orang-orangnya.
Memang memprihatinkan, dulu NKRI ini dibangun bukan atas dasar mayoritas-minoritas, dan belakangan mulai marak lagi orientasi fatamorgana itu. Ini bukan ranah Anda sebagai warga, ini ranah negara, tetapi Anda bisa sih mengopyak-opyak negara.
Hari ini Gereja Katolik memestakan seorang rasul yang dikenal sebagai orang tulus yang tak suka fatamorgana. Ia mendatangi kenyataan hidup dan fatamorgana itu pun lenyaplah: veni, vidi, vici. Amin.
PESTA BARTOLOMEUS RASUL
(Sabtu Biasa XX C/1)
24 Agustus 2019
Posting 2018: Murid Belagu
Posting 2017: Mari Sepedaan
Posting 2016: Santo Pandir?
Posting 2015: Mau Bikin Menara Babel?
Categories: Daily Reflection
You must be logged in to post a comment.