Kadang-kadang sebagai orang beragama saya malu karena agama yang menawarkan jalan keselamatan malah secara terang benderang mempertontonkan dirinya sebagai jalan kecelakaan. Agama yang menyodorkan model kemuridan justru jadi iming-iming model kemudaratan. Ini benar-benar tidak pandang bulu ayam atau bulu minke. Gak di Indonesia, gak di Jerman, bias mayoritas agama kuantitas itu seperti mendapatkan panggungnya di penjuru dunia. Memang begitulah nasib agama, mungkin seperti barang impor: yang di tempat asalnya sendiri sudah ketinggalan zaman alias bukan musimnya, di sini malah laris-larisnya. Itu mungkin saja loh ya…
Hari ini saya tak bisa bertele-tele. Pokoknya, imaji “pintu yang sesak” itu semakin kentara dengan kenyataan menjamurkan politik identitas agama tadi. Beragama itu bukan seperti teknologi yang mempermudah, melainkan jadi seperti teknologi yang memperumit hidup. Maka saya setuju imaji yang dipakai Guru dari Nazareth itu: berjuanglah melalui pintu yang sesak itu.
Pertanyaan soal mana ajaran (agama) yang benar, siapa orang yang dipilih, diselamatkan, tidak lagi relevan karena semakin kelihatan bahwa baik-buruknya hidup orang rupanya tak bergantung pada label agamanya. Ada bahkan sekelompok orang yang berani menyatakan diri sebagai front pembela agama, tetapi malah memprovokasi keributan. Makin susah orang memilah-milah, bukan mana agama yang benar, melainkan mana cara beragama yang benar.
Sayangnya, anjuran Guru dari Nazareth itu tidak berbunyi “Jauhilah pintu yang sempit itu” tetapi justru “Berjuanglah masuk melalui pintu yang sempit itu”.
Artinya, jalan keluarnya bukan “Ya sudah gak usah beragama saja toh, Rom?”, melainkan berjuang supaya agama itu gak jadi sempit. Gimana ceritanya kok agama, yang di sini saya padankan dengan imaji pintu tadi, bisa jadi sempit?
Sebetulnya psikologi sudah menjelaskannya sih: saat orang mulai menggelembungkan me atau mine atau ego (seperti metafora yang kemarin saya singgung), atau pada saat orang berilusi dengan label bahwa egonya lebih baik, lebih benar daripada ego yang lain.
Akan tetapi, tentu juga bisa dinalar secara sederhana. Pintu itu jadi sempit ketika orang berduyun-duyun memasukinya, bukan?
Pertanyaan yang disodorkan murid itu sepertinya lebih mencerminkan dinamika psikis mereka terhadap orang lain: apakah orang-orang lain yang tidak seperti aku ini juga kelak selamat?
Guru dari Nazareth secara halus menjawabnya: mind your own business! Maksudnya, perhatikanlah caramu beragama sendiri. Penghakiman itu datangnya dari Allah, bukan dari kamu, entah kamu mayoritas atau minoritas. Kriterianya sederhana: apakah orang berbuat adil atau tidak, bukan apakah agamamu mayoritas atau minoritas.
Dengan demikian, cara beragama yang disodorkan di sini rupanya bukan cara beragama yang sifatnya kolosal, semakin populer semakin baik, semakin banyak pengikutnya semakin baik. Pada akhirnya, kalau setiap orang beragama mau berkaca diri, akan ditemuinya bahwa dalam agamanya sendiri mesti ada aneka macam aliran dengan ajaran dan praktiknya sendiri sendiri, dan yang membuatnya sekelompok dengan orang-orang tertentu bukan hidup berdasarkan tuntunan Allah, melainkan demi tontonan belaka.
Nah, kok jadi bertele-tele gini sih? Haaaaaa
Saya berharap pembaca blog ini dengan lapang hati melihat bahwa agama memang jadi jalan sempit. Problemnya bukan agamanya sendiri, melainkan orang-orangnya sendiri yang sibuk dengan atribut dan label daripada sendiri melihat relasi batinnya dengan Allah.
Ya Tuhan, kasihanilah kami. Amin.
HARI MINGGU BIASA XXI C/1
25 Agustus 2019
Yes 66,18-21
Ibr 12,5-7.11-13
Luk 13,22-30
Posting 2016: Ikut Olimpiade Ah
Categories: Daily Reflection
Hi Romo, apakah artinya bahwa sebenarnya tiap agama punya ‘pintu sempit’ yg juga harus dilewati sebagai ultimate goal iman mereka? Artinya kiasan pintu sempit itu sebenarnya bernilai universal, makanya gak perlu kepo tanya kelompok (agama) mana yg nantinya akan paling banyak bisa lolos lewat pintu tsb toh masing2 dr mrk kudu lewati pintu yg sama juga🙏
LikeLike
Halo Bu’, iya pintu yang sama, tapi tak perlu ditafsirkan dengan satu perspektif. Kalau saya katakan setiap agama punya pintu sempit, artinya setiap agama punya kesusahannya sendiri-sendiri utk menunjukkan kepada umatnya mana yg utama dan mana yang bisa direlatifkan saja, begitu.
LikeLike
Makasih Rm penjelasan lanjutnya. Tadi juga nge klik link ke Espistemological Humility di bacaan hari ini & menemukan pointer yg relevan: banyak jalan menuju Allah lewat berbagai label bernama bermacam2 agama tsb, dan tentunya Allah kita semua adalah Allah yg satu itu (yg hny bisa dijangkau lewat ‘pintu sempit’ versi nilai dan ajaran tiap agama terkait). Siiip ciamik pengiringan konsepnya, got it & thks again🙏
LikeLiked by 1 person