Kemarin keponakan saya menyinggung soal paradoks toleransi dan hari ini bolehlah saya bocorkan singgungannya. Paradoks ini membantu orang untuk mengerti bahwa di kolong langit ini memang tak ada yang mutlak. Kalaupun yang mutlak itu bekerja di kolong langit, orang tak bisa menguasainya. Paradoks bekerja seperti bayangan: menjauh ketika dikejar, mengejar ketika dijauhi [wis, sakkarêpmulah Mo]. Paradoks toleransi ini juga seperti paradoks dalam agama: mengklaim sebagai kebaikan universal tapi menciptakan batas suci. Ya, abis mau gimana lagi? Namanya juga paradoks!
Nah, paradoks toleransi itu mengatakan bahwa supaya orang sungguh jadi toleran, ia mesti juga intoleran terhadap intoleransi. Ha piye jal kalau toleran terhadap intoleransi? Jadinya intoleransi juga dong! Ujung-ujungnya, orang mesti kembali pada suatu pembedaan roh, melakukan diskresi, memilah-milah, memilih mana yang sungguh sungguh mengantar orang pada nilai yang dirujuk oleh toleransi dan intoleransi. Untuk itu, dibutuhkan epistemological humility yang dulu saya singgung dalam posting Kerendahhatian Képologis.
Yang bikin suatu bangsa hancur antara lain ya karena orang-orangnya tak punya modal itu tadi. Menganggap pengetahuannya sendiri yang ultimate dan di luar pengetahuan itu tak ada kebenaran. Aih aih, anak kemarin sore dari semesta yang umurnya sudah entah berapa juta kali dari umurnya, bisa-bisanya mengklaim kebenaran mutlak dan menantang-nantang orang lain untuk berdebat.😭😭😭
Teks bacaan hari ini terasa keras untuk orang-orang beragama atau mungkin untuk mereka yang menyebut diri pemuka agama atau ahli agama. Isinya adalah kecaman Guru dari Nazareth terhadap mereka yang mempolitisasi agama dan mengagamakan politik. Yang satu memanfaatkan doktrin agama untuk kepentingan politik, yang lain memperbudak politik demi kepentingan agama kuantitas. Kalau dirunut-runut ya nanti ketemunya pada ego yang hendak dibesar-besarkan, entah ego itu mau dilabeli apa.
Guru dari Nazareth mengundang siapa saja untuk kembali kepada fitrah manusia yang tidak bisa dibungkus dengan agama mana pun.
Loh, ya gak bisa dong, Rom, istilah fitrah itu sendiri saja datangnya sudah dari agama kok!
Nah, itulah persoalannya. Wacana “agama” itu bukan wacana asli, itulah yang saya maksud sebagai label, yang munculnya belakangan, seperti sumber mata air yang senyatanya bisa dimanfaatkan siapa saja kemudian dimonopoli oleh sekelompok orang untuk kemakmurannya sendiri atau kelompoknya. Agama tidak lain dari itu jika pemeluknya tak berhati-hati dan tak mau berkaca bahwa bahasanya serba terbatas untuk menguak kemutlakan.
Weh weh weh, Romo ini skeptis terhadap agama, padahal Romo ini romo loh!😂😂😂 Saya skeptis terhadap pemeluk agama yang tak punya epistemological humility tadi. Itu masih mendinganlah, karena saya tidak sampai seperti Guru dari Nazareth yang kêmropok dan mengeluarkan celaan yang begitu terus terang. Saya memang setuju bahwa parahlah pemimpin-pemimpin buta yang disumpah di bawah Kitab Suci tetapi sumpah itu tak mengikat hidupnya sebelum Kitab Suci itu memuat emas, tunjangan, bonus, upeti, hadiah yang melegakan gelojoh hidupnya.
Memang bisa dimengerti kalau politisasi agama dan agamaisasi politik itu membuat orang jadi skeptis terhadap agama. Saya kembali ke wacana “pintu sempit” kemarin: berjuang melewatinya, bukan menjauhinya. Amin.
SENIN BIASA XXI C/1
26 Agustus 2019
1Tes 1,2b-5.8b-10
Mat 23,13-22
Senin Biasa XXI B/2 2018: Tagar Sesat
Senin Biasa XXI A/1 2017: Dunia Jadi-jadian
Senin Biasa XXI C/2 2016: Geseng Dor
Senin Biasa XXI A/2 2014: Pengkhianat Agama: Kemunafikan
Categories: Daily Reflection