Kerendahhatian Képologis

Epistemological humility kelihatan sangar. Sederhanakan saja epistemologi sebagai kepologi, ilmu perkepoan, sehingga epistemological humility jadi kerendahhatian orang kepo. Apa pentingnya kerendahhatian kepologis? Ini penting demi identitas kekepoannya sendiri. Kalau orang kepo tak rendah hati, ia malah berhenti jadi kepo, tak ngerti batas kekepoan. Ujung-ujungnya, ia bisa mengklaim punya pengetahuan final, komplet, utuh, sempurna, dan sejenisnya. 

Padahal, ini slogan kerendahhatian kepologis: tak ada orang yang tahu segalanya mengenai apa saja. Semua orang itu bego’, seberapapun kadarnya. Bahkan di zaman spesialisasi ini, slogan itu tetap berlaku, tentu saja, karena spesialisasi justru hendak menunjukkan batas kemampuan kepo seseorang sehingga tak mungkinlah orang tahu segala-galanya mengenai apa saja. Ia bisa saja mengambil spesialisasi tertentu tetapi itu juga bukan jaminan bahwa ia mengetahui segala-galanya mengenai spesialisasinya itu.

Saya mengingat pengalaman tetangga kamar saya yang minggu lalu kena pedang. Dia dan beberapa orang lainnya adalah korban orang yang tak punya kerendahhatian kepologis. Itulah akibat terburuk kesombongan kepologis bagi peradaban: kepunahan manusia. Kesombongan kepologis membuat orang menghujat, menyerang, fitnah, menghancurkan orang lainnya yang berbeda dari dirinya. Persis begitulah perilaku orang bego’, yang tak tahu batas kekepoannya. 

Tragisnya, kesombongan kepologis itu tampaknya subur di kalangan orang yang semestinya justru jadi promotor perdamaian: orang-orang beragama. Kita ingat dulu yang menyerang perkembangan sains adalah orang beragama. Yang memandatkan bunuh diri massal juga orang beragama. Perang salib, jelas. Terorisme, yang pèr sé bukan soal agama, lebih mudah mendompleng agama daripada ideologi demokrasi. 

Di situlah undangan guru dalam teks hari ini relevan. Allah memanggil orang bego’, yang mau bertobat, memelihara kekepoannya juga mengenai dirinya sendiri, agamanya sendiri. Allah tak berkenan pada orang yang berhenti kepo dan merasa dirinya sudah tahu segalanya mengenai dirinya, mengenai agamanya. Untuk mengurangi kadar kebego’annya, orang perlu ketemu, omong bersama, saling bertanya, saling melengkapi dan seterusnya.

Apakah Anda kira sebagai orang Katolik atau Kristen Anda lebih tahu mengenai Yesus daripada orang Islam, Hindu, Buddha? Boleh saja Anda merasa lebih tahu, tetapi itu tak berarti bahwa pada kenyataannya Anda tahu segalanya mengenai Yesus Kristus. Pengetahuan Anda mengenai Yesus Kristus bahkan perlu Anda revisi atau lengkapi dengan perspektif agama lain. Saya sudah menyinggungnya pada posting Jangan Mempertuhankan Yesus. Anda tetap bisa meyakini bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan, tetapi setelah mempertimbangkan perspektif Islam untuk tak mempertuhankan manusia.

Andaikan semua orang beragama punya kerendahhatian kepologis, niscaya mereka akan saling belajar, bukan untuk memperlemah iman, melainkan justru meneguhkan pilihan mereka untuk memilih jalan yang sudah mereka tapaki verso Dio (dotcom), menuju Allah. Andaikan saja semua orang beragama menghidupi kerendahhatian kepologis, takkan ada pikiran bahwa agama tertentu menyempurnakan agama lain atau agama tertentu lebih baik dari agama lain. Kerendahhatian kepologis menyadarkan orang bahwa agama itu hanyalah label bagi aneka jalan untuk connect dengan Allah di dunia sini. Hanya orang sombong yang lebih mementingkan label.

Tuhan, semoga kami punya cukup stock kerendahhatian kepologis. Amin. 


HARI SABTU SESUDAH RABU ABU
17 Februari 2018

Yes 58,9b-14
Luk 5,27-32

Posting 2017: Memeluk Kerapuhan
Posting 2016: Solidaritas
Pret 
Posting
2015: Mending Gak Usah Beragama

Posting 2014: Tobat: Equilibrium