Solidaritas Pret

Tidak ada satu momen pun dalam hidup kita yang tak bisa jadi awal hidup baru. Ungkapan ini kiranya lebih ‘ada isinya’ daripada slogan basi bahwa hidup adalah pilihan. Slogan ini biasanya dipakai mereka yang masih mencari-cari bentuk kebebasan dari aneka kungkungan tanpa orientasi. Pokoknya milih, asal waton milih pun tak apa karena hidup itu kan pilihan.

Ungkapan Foucauld memuat orientasi kebaruan hidup. Setiap momen adalah kesempatan untuk mengawali hidup baru, menghidupi suatu on-going conversion. Setiap orang punya kebebasan untuk masuk dalam misteri tobat, misteri kerapuhan manusia. Disposisi ini tak dimiliki oleh pemuka agama yang menghakimi orang lain (yang tak sejalan dengan dirinya) sebagai pendosa; pemuka agama yang jijik dan menyingkiri plus menyingkirkan orang yang dianggapnya berdosa, entah karena LGBT-lah, kafirlah, najislah, ekskomunikasilah, durhakalah, apalah…  

Tentu ada ekstrem lain: mereka yang tak menyingkiri para pendosa, membaur dengan para pendosa, dengan kelompok orang yang tertindas, terpinggirkan, dan memetik keuntungan dari situ untuk mendiskreditkan kelompok lain. Orang macam ini bisa jadi provokator yang baik untuk sekadar melakukan perlawanan, tetapi tak cukup untuk mendorong pertobatan bagi setiap orang, entah yang tersingkirkan ataupun yang menyingkirkan. Pokoknya ayo demo dan setelah itu konsekuensinya kamu tanggung sendiri!

Yesus krasan dengan para pendosa bukan karena dia hendak memberi pemakluman terhadap kerapuhan orang, bukan karena dia mau membenarkan kelemahan orang, melainkan karena ia hendak mengundang setiap orang kepada pertobatan. Bacaan-bacaan hari ini kiranya memuat kebenaran itu: setiap orang punya momen untuk berubah. Aku bisa berubah, kamu bisa berubah, kita bisa berubah.

Mungkin saja kita ngotot bahwa ‘mereka’ tak bisa berubah, tetapi itu jelas karena kita punya andil sedemikian rupa sehingga ‘mereka’ belum berubah: kita tak membangun sistem hukum yang menjamin kepastian dan keadilan, kita tak membangun iklim yang menumbuhkan rasa aman, keberanian, trust, dan sebagainya.

Memang sih, hukum yang menjamin kepastian dan keadilan itu pun bisa menakutkan pendosa. Transparansi senantiasa menakutkan pihak-pihak yang sadar diri akan kesalahan mereka. Maka diperlukan pendekatan-pendekatan di luar hukum. Orang perlu membangun suatu solidaritas yang memberdayakan kelompok tersingkir, kaum pendosa, orang-orang yang rapuh.

Akan tetapi, jika solidaritas itu semata dibangun untuk melawan, membangkang pihak lain, jika dalam solidaritas itu tak ada transparansi, jika agenda tersembunyi dalam solidaritas itu bersifat selektif nan diskriminatif (karena menyasar orang, bukan nilai), solidaritas yang dipupuk di situ namanya solidaritas semu atau yang lebih mak jleb lagi adalah solidaritas pret

Yesus tak pernah mengajarkan solidaritas pret, yang cuma menuntun orang pada jalan carmuk (cari muka). Ia mengundang siapa saja, tanpa menutup peluang pihak manapun, meskipun pada kenyataannya ia berbaur dengan kaum pendosa, untuk bertobat.

Tuhan, mohon rahmat supaya kerapuhanku jadi jalan untuk hidup baru. Amin. 


HARI SABTU SESUDAH RABU ABU
13 Februari 2016

Yes 58,9b-14
Luk 5,27-32

Posting 2015: Mending Gak Usah Beragama
Posting 2014: Tobat: Equilibrium