Ada orang yang mencari kesempurnaan dengan menjauhi kerapuhan sehingga ia malah tak bisa melangkah maju. Tetapi ada juga yang justru memperoleh kesempurnaan dengan merangkul kerapuhan. Yang pertama adalah kaum Farisi nan arogan, sedangkan yang kedua ialah Kristus dan siapa pun yang mengikuti gaya hidup-Nya. Sejujurnya, di dunia ini, saya kira jauh lebih banyak orang yang menghayati mentalitas orang Farisi daripada melapangkan hati dan wawasannya untuk mengikuti gaya Kristus yang sangat welcome terhadap para pendosa, orang-orang yang rapuh.
Karena semua orang memiliki kerapuhan, tentu institusi atau lembaga yang dibangunnya juga bisa memuat kerapuhan. Salah satu lembaga itu adalah agama yang senantiasa menjadi sorotan di ranah publik. Betapa tidak! Mulai dari soal redaksi kata Tuhan dan Allah sampai soal patung mematung bisa jadi sumber pertikaian di sana-sini. Bahkan, dalam kelompok-kelompok intern agama yang diandaikan anggotanya menghayati hidup beriman lebih radikal lagi, orang masih bisa menemukan kasus yang jelas menunjukkan adanya kerapuhan atau keberdosaan yang tak terbantahkan.
Beberapa kali saya mendapati orang muda yang tertarik untuk menjadi anggota kelompok religius tertentu, setelah semakin lama mengenal hidup orang-orang di dalamnya malah mengurungkan niat untuk masuk dalam kelompok religius itu. Kenapa? Karena bayangannya mengenai kesucian anggota konggregasi atau tarekat suster/bruder/imam itu hancur. Mereka kira kehidupan biarawan itu adalah hidup malaikat yang tak memuat kelemahan-kelemahan manusiawi, hidup orang-orang yang dikebiri jasmani dan rohaninya!
Akan tetapi, hal itu juga berlaku dalam hidup perkawinan. Tanpa keluasan hati untuk mengampuni, perkawinan hanya jadi mekanisme kontrakan yang habis masa berlakunya ketika salah satu pihak tidak mau menggumuli kelemahan pihak lain. Tambah runyam lagi kalau pihak yang lain itu juga tidak punya keterbukaan hati untuk bertobat alias berkubang dalam zona nyamannya. Lewi dalam bacaan hari ini merepresentasikan pendosa yang tidak tinggal diam dalam kenyamanannya.
Kalau begitu, kerapuhan atau kelemahan tidak perlu dipandang secara mutlak sebagai hal yang harus dimusnahkan, melainkan diterima justru sebagai pijakan untuk semakin berfokus pada panggilan Allah sendiri. Sekali lagi, prinsip dasar hidup umat beriman bukan kata benda, melainkan kata kerja: dalam situasi apa pun, orang memuliakan Tuhan. Hanya dengan cara itu orang akan “bersenang-senang karena Tuhan” dan tak perlu risau karena agama dilecehkan!
Setiap agama punya kelemahan, tetapi kelemahan itu bisa diterima sebagai otokritik bagi lembaga agama dan umatnya. Orang yang sungguh beragama adalah orang yang mengambil tanggung jawab: memilih sesuatu komplet dengan kelebihan dan kekurangan. Tak ada tempat bagi perfeksionisme dalam ziarah hidup umat beriman karena perfeksionisme memblokade campur tangan Allah. Ya, perfeksionisme individual itu juga bisa diterima sebagai kelemahan juga sih.
Kelemahan macam itu barangkali masih lebih ringan daripada perfeksionisme di luar lembaga agama: orang tak pernah mau beragama karena tidak menemukan agama yang bebas dari kelemahan!
HARI SABTU SESUDAH RABU ABU
21 Februari 2015
Posting Tahun Lalu: Tobat: Equilibrium
Categories: Daily Reflection