Setelah Gideon semalam kalah, teks bacaan pertama hari ini menampilkan sosok pemimpin lain: Yefta, yang bernazar bahwa kalau menang dan selamat sampai rumah, akan memberikan apa saja yang keluar dari pintu rumah pertama kali sebagai korban bakaran kepada Allah. Blaik, yang muncul pertama kali malah anak tunggalnya yang masih gadis itu. Ambyarlah hati Yefta. Kalau mencabut nazarnya, mau bagaimana dia berdalih pada Allahnya, kalau setia pada nazarnya, ia kehilangan anak gadisnya.
Yang menarik saya, anak perempuannya itu malah memberi semangat bapaknya, tetapi dia minta waktu tambahan dua bulan untuk mengembara ke gunung dan menangisi kegadisannya bersama teman-temannya. Iki apa maksudé jal? Sepertinya sih itu berarti meratapi kegadisannya (harus mati selagi gadis; dua bulan gak cukup untuk pdkt demi cinta sejati hiks), tapi mbohlah, saya bukan anak gadis. Anda yang anak gadislah yang mestinya menjelaskannya kepada saya. Saya mending lihat teks bacaan kedua saja, siapa tahu nemu sambungannya, entah sinkron atau kontras.
Teks bacaan kedua merupakan metafora untuk Kerajaan Allah: raja yang mengadakan pesta dan mengundang siapa saja untuk ikut wedding feast anaknya. Raja mengundang siapa saja. Anehnya, ada yang tidak memenuhi undangan itu bahkan membunuh hamba-hamba raja itu dan sang raja mengamuk. Ini ngundang tapi kok maksa gitu sih? Juga kepada yang memenuhi undangan itu tapi tak berpakaian pesta, sang raja mengecam dan memandatkan hamba-hambanya untuk mengikat mereka. Serem amat ya ini raja!
Untunglah, itu bukan kisah nyata, melainkan metafora, tapi tak bisalah kita menganggapnya bukan true story karena nanti kita jadi berantem apa yang dimaksud dengan true itu. Yang penting, mari cari makna metafora itu saja. Saya ikut saja para ahli Kitab Suci yang sudah belajar lamaaaaa sekali. Kata mereka itu, empat ayat terakhir itu adalah perumpamaan tambahan untuk menerangkan perumpamaan pertamanya. Perumpamaan pertamanya tadi sudah tuntas dengan ayat sepuluh, yaitu pestanya dipenuhi tamu undangan (baik yang terpaksa datang maupun yang sukarela karena sudah tanggal tua).
Nah, kalau raja tadi mengundang siapa saja, itu artinya siapa saja, bukan? Tidak ada kriteria. Pokoknya siapa saja yang mau datang ya datang aja, entah jahat atau baik. Itulah yang dibilang di ayat sepuluh: orang jahat dan orang baik boleh kok ikut pesta!
Akan tetapi, ternyata ada tetapinya nih. Entah orang itu jahat atau baik, kalau datang ke pesta, ia mesti berpakaian pesta. Dalam posting terdahulu sudah saya singgung, ini pasti bukan soal memakai mantilla atau pakaian keagamaan (buset pakaian aja ada agamanya, gak mau kalah sama kulkas), melainkan soal pemurnian hati di hadapan Allah.
Tak ada orang yang bisa bercongkak diri di hadapan Allah selain mereka yang munafik dengan bungkus toleransi: di ruang publik omong baik-baik tentang liyan, di ruang eksklusif menertawakan bahkan merendahkannya. Nanti kalau yang di ruang eksklusif ini bocor ke publik, yang mesti dituntut adalah pembocornya, eaaaaa……
Orang yang murni hatinya di hadapan Allah, tidak menjadikan agama sebagai tameng terhadap publik, tetapi membuatnya jadi sumber inspirasi bagi publik. Kalau jadi sumber inspirasi bagi publik, tentu jadi sumber juga bagi peer groupnya, bukan?
Memang tidak mudah merevolusi mental seperti disodorkan dalam posting Jakarta-Indonesia PP itu.
Tuhan, ajarilah kami untuk memurnikan hati. Amin.
KAMIS BIASA XX C/1
Peringatan Wajib SP Maria Ratu
22 Agustus 2019
Kamis Biasa XX B/2 2018: Ikut Pesta, Ikut nJoged
Kamis Biasa XX C/2 2016: Life’s a Banquet
Kamis Biasa XX B/1 2015: Jangan Main-main dengan Mantilla
Kamis Biasa XX A/2 2014: Ayo Pesta…(atau Perang?)
Categories: Daily Reflection