Andaikanlah Anda bekerja di sebuah lembaga yang pemilik dan manajernya murah hati dan punya duit tak terbatas untuk menggaji Anda, semestinya Anda gembira dan merasa aman. Lebih menggembirakan lagi kalau kemurahan hati [yang nongol di KBBI, tidak seperti nasib ‘kerendahan hati’] atau kemurahhatian [yang tidak muncul di KBBI seperti kerendahhatian] itu sama sekali tak terhubung dengan kinerja Anda. Anda mau mainan datang pagi bekerja penuh dedikasi atau mainan hape sepanjang jam kerja atau datang satu jam sebelum kantor tutup ya sama gajinya. Lebih menggembirakan karena Anda tak perlu khawatir kelalaian akan memengaruhi pendapatan Anda. Saya tidak kenal pemilik perusahaan seperti itu, tetapi tentu ada saja tipe pemimpin laissez-faire (bacanya lèsêfèʁ) begitu: terserah kamu mau apa atau gimana, mana yang nyaman buat dirimu sajalah. Soal duit, no problem.
Kemurahan hati dalam teks bacaan hari ini bisa saja ditangkap secara letterleijk sebagai kondisi laissez-faire oleh orang modern tanpa menyadari bahwa perumpamaan punya keterbatasan. Akibatnya: lha wong Allah yang murah hati saja penganut laissez-faire kok, jadi saya juga mesti menampilkan gambaran Allah yang laissez-faire dong. Padahal, dunia teksnya sendiri tidak menyinggung model kepemimpinan, apalagi tipe laissez-faire!
Kemurahan hati Allah tidak bisa diterjemahkan sebagai kualitas laissez-faire. Kualitas laissez-faire itu bisa jadi malah melanggar prinsip kemurahan hati Allah! Kemurahan hati Allah dalam teks hari ini tidak mengacu pada satu dinarnya untuk semua, melainkan bahwa siapa saja yang menganggur diundangnya untuk bekerja. Nah, yang penting di situ malah orang bekerja, tidak menganggur saja. Satu dinarnya itu cuma dipersoalkan para pekerja yang justru sudah punya kontrak kerja dengan upah yang disepakati.
Jangan lupa, ini adalah perumpamaan tentang Kerajaan Allah, Kerajaan Surga. Jadi, ini pasti bukan narasi untuk memahami dunia bisnis. Sebaliknya, dunia bisnis dipakai untuk memahami Kerajaan Allah. Maka, pesannya jelas, seperti dalam dunia bisnis yang sehat, Kerajaan Allah tak pernah melanggar keadilan personal. Dunia bisnis yang melanggar keadilan personal ini sudah dengan sendirinya mencoreng reputasi Kerajaan Allah. Upah rendah, lembur berlebihan, sales yang tidak mengedukasi konsumen semata demi produknya terjual (tak tahu kekuatan dan kelemahan produk), manajer yang menginjak-injak bawahan, buruh yang tak mau tahu biaya produksi, dan seterusnya.
Dalam Kerajaan Surga, kerja tak lagi cukup dimengerti sebagai bisnis upah seperti dipersoalkan oleh para pekerja. Ini juga adalah soal aktualisasi diri, dan kalau orang sungguh melakukan aktualisasi diri, dia tidak akan dipusingkan oleh aktualisasi diri orang lain, termasuk gajinya. Baru jika aktualisasi diri orang lain menghambat aktualisasi dirinya, orang berhak protes dan untuk itu diperlukan manajer. Tugas manajer inilah yang menata supaya keadilan tidak diinjak-injak.
Dengan demikian, manajer yang murah hati bukanlah manajer yang jadi sinterklas duit tak terbatas, melainkan manajer yang menata supaya semua bisa bekerja sebagai sarana aktualisasi diri. Manajer seperti ini tentu bukan manajer yang laissez-faire tadi.
Tuhan, mohon rahmat kejernihan hati dan budi untuk memaknai kerja dalam Kerajaan cinta-Mu. Amin.
RABU BIASA XX C/1
Peringatan Wajib S. Pius X
21 Agustus 2019
Rabu Biasa XX B/2 2018: Sirik Aja Lu
Rabu Biasa XX A/1 2017: Ayo Ngguyu
Rabu Biasa XX B/1 2015: Apa Upahnya Kerja?
Rabu Biasa XX A/2 2014: Just Do What You Do!
Categories: Daily Reflection