Kalimat terakhir kutipan Injil hari ini sudah kerap dipakai untuk omong soal sedikitnya orang yang (mau) jadi imam dalam Gereja Katolik. Ndelalahnya, hari ini gèng saya melantik alias menahbiskan [ato menasbihkan sih?] delapan calon imam (disebut diakon, tidak ada hubungannya dengan prodiakon, kecuali jika yang bersangkutan orang tuanya anggota kelompok prodiakon). Semoga tidak ada yang mengundurkan diri sebelum misa tahbisan itu. Amin.
Biasanya setelah misa tahbisan gèng saya itu digelar pesta dengan tamu undangan sekitar seribu perut. Akan tetapi, saya mengerti dan maklum, lebih dari seribu orang yang ingin datang ke pesta tahbisan itu, bukan demi perut. Hanya saja, karena keterbatasan tempat [dan anggaran toh ya], tidak semua yang ingin pesta bisa ditampung. Tentu, ada saja mereka yang datang demi perut, tetapi ini cuma segelintir orang. Nah, dengan bingkai inilah saya menangkap pesan teks bacaan hari ini.
Ini bukan perkara banyak orang dipanggil (jadi imam, biarawan/biarawati) tetapi sedikit yang dipilih! Bukan perkara perut dan kelezatan makanan catering (meskipun itu juga penting). Ini soal datang untuk berpesta, dan dengan begitu, orang mesti mengenakan pakaian pesta. Sekali lagi iklan Antoine de Saint-Exupéry: what is essential is invisible to the eye. Pakaian pesta ini bukanlah macam backlees (punggung terbuka), busty look (dada terbuka), decolette look (leher terbuka) dan sejenisnya [ini saya cuma salin tempel loh ya]. Bahkan, ini juga bukan perkara moral baik-buruk (yang bergantung pada siapa yang mengatakan dan apa kepentingannya).
Njuk soal apa ini, Rom?
Soal membangun relasi dengan si penyelenggara pesta, yang menganggap undangannya sebagai saudara. Ini soal membangun sikap persahabatan dengan Allah. Caranya? Ada yang mengistilahkannya sebagai sahabat rasul, sahabat Yesus, sahabat kaum miskin, sahabat sehat, dan sebagainya. Ujung-ujungnya ya sama: membangun persahabatan yang common groundnya ialah Dia yang mau bersahabat dengan siapa saja, entah orang baik atau orang jahat. Semakin persahabatan orang dengan Allah mendalam, semakin bermartabat pula pesta yang dihidupinya di dunia ini.
Anda dan saya pantas mempertanyakannya: seberapa jauh, kapan saja kita memperlakukan Allah sebagai sahabat, sekurang-kurangnya sebagai pribadi yang hendak bersahabat dengan kita? Sejauh perut nyaman dan hidup tenangkah?
Tuhan, mohon rahmat keterbukaan hati supaya kami dapat menjadi sahabat-Mu untuk membangun kemanusiaan yang adil dan beradab. Amin.
KAMIS BIASA XX B/1
19 Agustus 2021
Kamis Biasa XX C/1 2019: Menangisi Kegadisan
Kamis Biasa XX B/2 2018: Ikut Pesta, Ikut nJoged
Kamis Biasa XX C/2 2016: Life’s a Banquet
Kamis Biasa XX B/1 2015: Jangan Main-main dengan Mantilla
Kamis Biasa XX A/2 2014: Ayo Pesta…(atau Perang?)
Categories: Daily Reflection