Kalau Anda diminta memilih antara altar dan pasar, antara tempat ibadat dan tempat maksiat, pilihan manakah yang Anda ambil?
Tentu bergantung pada kebutuhan yang hendak Anda penuhi, bukan? Ini bukan pilihan sulit. Kalau Anda mau menjalankan ritual pilih altar. Kalau butuh bahan masak atau alat rumah tangga ya pilih pasar. Kalau mau ketemu umat lain, atau betulkan lampu panti imam, ya ke tempat ibadat. Kalau mau kepo atau malah jadi laskar sweeping ya ke tempat maksiat. Begitu seterusnya, tak perlu rumit urusannya.
Jadi runyam persoalannya ketika Anda mesti menghubungkan altar dan pasar atau tempat ibadat dan maksiat.
Ya gampanglah, Rom, tinggal bikin jalan aja, entah fly-over atau underpass, atau cukup bobol tembok belakang tempat ibadat, keduanya terhubung!
Ya betul! Akan tetapi, penghubungan macam itu sangat rawan pencampuradukan pasar dan altar; Anda tak memisahkan dan tak bisa lagi membedakannya. Orang tak tahu lagi yang mana pasar dan yang mana altar, tak ada lagi perbedaan antara ibadat dan maksiat.
Itulah yang jadi sasaran empuk kritik Guru dari Nazareth dalam bacaan hari ini: munafik.
Kalau kemunafikan itu sifatnya personal, mungkin tidak begitu banyak masalah. Akan tetapi, jika perkaranya melembaga (artinya, orang-orangnya memegang posisi kunci lembaga), runyamlah hidup ini. Orang bisa mencampuradukkan negara dan agama, dan penindasannya mengerikan karena Tuhan pun dibawa-bawa ke dalamnya dan pemimpin-pemimpinnya terbutakan entah oleh pasar atau altar.
Bagaimana supaya orang tidak memisahkan altar dan pasar, tetapi masih bisa membedakannya?
Lha itu saya gak tau, tetapi kalau kembali ke kritik Guru dari Nazareth tadi ya berarti ini soal mendekati kejujuran dan menjauhi kemunafikan. Kejujuran adalah perkara integritas kepribadian. Kemunafikan itu perkara keterampilan modus, alias menyembunyikan alasan bin motif asli dengan balutan kata-kata indah yang mendongkrak popularitas atau nama baik di depan manusia lain. Kata-kata indah itu bisa misalnya “kelebihan bayar”, “kerusakan sistem komputer”, “kontekstualisasi”, “mengikuti zaman”, dan sebagainya. Kepentingan yang dibalut kata-kata indah itu bisa mengerikan: kekuasaan, power, yang cenderung korup.
Guru dari Nazareth mengundang orang beragama untuk menangkap yang esensial: bukan air sucinya, melainkan karakter orang-orang yang menyucikan (meyakini kesucian) air itu; bukan tempat ibadatnya, melainkan kepribadian orang yang memakai tempat ibadatnya; begitu seterusnya.
Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan supaya kami semakin terampil membedakan gerak roh dalam hati kami supaya pilihan-pilihan kami sungguh senantiasa terarah pada kemuliaan-Mu. Amin.
SENIN BIASA XXI B/1
23 Agustus 2021
1Tes 1,2b-5.8b-10
Mat 23,13-22
Senin Biasa XXI C/1 2019: Skeptis terhadap Agama
Senin Biasa XXI B/2 2018: Tagar Sesat
Senin Biasa XXI A/1 2017: Dunia Jadi-jadian
Senin Biasa XXI C/2 2016: Geseng Dor
Senin Biasa XXI A/2 2014: Pengkhianat Agama: Kemunafikan
Categories: Daily Reflection