Guru

Kemarin ada berita daring yang menceritakan keanehan seorang koki sebuah restoran mewah di Inggris. Dia memberi testimoni buruk terhadap restorannya sendiri di media daring. Akan tetapi, keanehan itu memiliki asumsi dan logikanya. Menurut koki ini, testimoni terbaik ialah yang disampaikan secara luring, entah berupa pujian, saran atau kritik. Testimoni macam itulah yang terpenting diperhatikan daripada aneka macam komentar di dunia maya. Komentar dan rating daring tidak memengaruhi reputasi restorannya.
Memang tampaknya terbukti, restorannya tetap memiliki reputasi tinggi. Tidak lain sebabnya, reputasi tinggi itu sudah terlebih dulu dilegitimasi oleh lembaga pemberi bintang Michelin untuk restoran berkualitas, yang tentunya tidak menguji berdasarkan komentar dan rating daring. Lalu ini jadi soal reputasi pemberi komentar: yang satu memakai parameter luring, yang lainnya bermodalkan kata-kata.

Begitulah saya mengerti teks bacaan hari ini untuk memestakan seorang murid Guru dari Nazareth yang namanya Bartolomeus. Dia ini dikasih tau temannya yang mengklaim telah menemukan sosok orang yang dirujuk Kitab Taurat dan para nabi. Reaksi spontan Bartolomeus ialah: mana mungkinlah Taurat dan nabi merujuk Nazareth, tempat asal sosok orang itu.
Jangan lupa, Bartolomeus ini rupanya banyak membaca dan merenungkan Kitab Taurat; jadi dia tahu benar seluk beluk isinya, termasuk nubuat-nubuat di dalamnya. Dengan kata lain, dia sudah punya referensi pengetahuan dan referensi itu membuatnya maido alias tak percaya omongan Filipus, saudaranya. Apa tanggapan Filipus? “Ayo, liat aja!”

Dalam arti tertentu, pengetahuan dan kepercayaan itu berkelindan atau saling mengandaikan. Orang tidak bisa percaya tanpa mengetahui, tetapi juga sebaliknya, orang tak bisa mengetahui tanpa percaya. Mengabaikan hal ini bikin relasi antara pengklaim kebenaran religius jadi runyam, dan paling banter cuma menyerukan toleransi, toleransi, dan toleransi. Padahal, toleransi itu cuma mau mengatakan ĕlo-ĕlo gué-gué atau asal ĕlo ga nginjek kaki gw, gw gak nendang kaki ĕlo atau sesama bus kota dilarang saling mendahului. Tidak ada jaminan gw ngertiin ĕlo atau ĕlo ngertiin gw. [Btw, saya tidak mengatakan toleransi itu jelek, tetapi tidak cukup untuk kualitas hidup bersama yang mendalam, yang tidak menyimpan api dalam sekam.]

Ajakan untuk “Datang dan lihatlah” dalam teks bacaan hari ini bukanlah pertama-tama soal pergi ke tempat tertentu dan mengandalkan mata untuk melihat postur, raut muka, warna kulit Guru dari Nazareth. Ini soal melibatkan diri dalam hidup pribadi Guru yang dijumpai itu. Jeleknya agama ialah ketika ia mengabsolutkan sosok guru mereka. Guru ini terakreditasi scopus, guru itu langsung dapat wangsit dari langit, guru yang ĕntu bisa terbang dan bikin mukjizat macam-macam. Padahal, apa ya Tuhan Allah itu sedemikian terbatasnya sehingga cuma bisa menciptakan seorang guru? Kampus saya saja sudah mencetak ribuan guru.🤣

Bartolomeus, saya kira, berguru kepada beberapa orang atau lembaga, dan ketika ada ajakan untuk melihat guru lain, ia toh datang dan melihatnya, membongkar prasangka yang diperolehnya dari pengetahuannya sendiri. Bartolomeus berakar pada agamanya, menghayatinya dengan pengayaan dari perjumpaannya dengan Guru dari Nazareth. Yang seperti ini sudah sepantasnya dihidupi dalam dunia yang begitu majemuk; bukan untuk mencampuradukkan, melainkan untuk menemukan sambungan jalan orang kepada Allah di kedalaman hidup batinnya.

Tuhan, mohon rahmat keterbukaan hati untuk datang dan melihat bagaimana Engkau bekerja juga pada tempat-tempat yang belum terambah oleh kebiasaan hidup kami. Amin.


PESTA BARTOLOMEUS RASUL
(Selasa Biasa XXI B/1)
24 Agustus 2021

Why 21,9b-14
Yoh 1,45-51

Posting 2020: Iman Telur Ayam
Posting 2019: Veni, Vidi, Vici

Posting 2018: Murid Belagu
Posting 2017: Mari Sepedaan
Posting 2016: Santo Pandir?
Posting 2015: Mau Bikin Menara Babel?