Iman Telur Ayam

Tokoh yang dipestakan Gereja Katolik hari ini mengajarkan kepada saya bahwa beriman bukan perkara “Mana lebih dulu, telur atau ayam”. Itu perkara mudah sekali, karena telur jelas duluan. Loh, Romo ini ngaco, kalau gak ada ayam, gimana mungkin ada telur ayamnya jal?
Lho lha iya, kalau kita tanya mana lebih dulu, ayam atau telur, ya jelas ayamnya duluanlah! Gimana sih, Rom?
Ayam dan telur, ya ayamnya duluan, kan? Telur dan ayam, ya telurnya duluan. Piyé sih?

Akan tetapi, terserah Anda mau ngotot bagaimana, beriman bukan perkara telur ayam itu. Jadi entah telur atau ayamnya yang duluan, itu gak ada hubungannya dengan ‘beriman’ tadi.🤣
Romo ini memang giblig, lha wong gak ada hubungannya kok ya pake’ dibahas segala!
Ya itu justru sebagai pembanding bahwa beriman bukan perkara berpikir mengenai telur ayam atau ayam petelur itu. Ini konteksnya belajar dari sepak terjang tokoh yang disebut dalam teks bacaan hari ini, Natanael, yang menurut tradisi adalah sosok Bartolomeus.

Bartolomeus ini, jika hidup pada zaman now, akan terheran-heran dengan tokoh yang diperkenalkan Filipus kepadanya. Bahkan di peta daring pun, kota asal sang Guru itu tak muncul sekalipun diperbesar sampai pembesarnya kehabisan akal. Bartolomeus bukan orang sembarangan. Ia mengerti betul Kitab Suci dan tak pernah dalam hidupnya ia membaca perkara penting yang datang dari Nazareth. Jadi, ketika Filipus mengintroduksi sosok dari Nazareth itu, secara spontan ia bergumul dengan pengetahuannya sendiri: apa ada hal baik yang datang dari kota yang tak ada dalam peta itu?

Jawaban Filipus mengantar saya pada pelajarannya: ya ayo datang dan lihat saja. Perhatian perlu diberikan pada kata kerja melihat yang dalam bahasa Yunaninya sana memakai variasi kata ὁράω (horao) yang sudah beberapa kali saya bandingkan dengan kata βλέπω (blepo) untuk menunjukkan nuansa reading between the lines, tetapi juga berkonotasi pengalaman. Artinya, Filipus mengundang Bartolomeus untuk datang dan mengalami sendiri saja tokoh yang diperkenalkannya itu. Mengenai pokok ini sepertinya pernah saya ketik dalam posting Learning by Nyemplung.

Yang perlu saya singgung lagi adalah perkara ayam petelur tadi: apakah orang mesti tahu dulu baru kemudian memercayai apa yang diketahuinya, atau orang perlu percaya dulu sehingga (semakin) tahu apa yang dipercayainya itu?
Tentu jawaban mudahnya: bisa dua-duanya, bergantung konteksnya, tetapi dalam hal beriman, menurut saya, orang tak perlu tunggu tahu segala baru percaya. Itu berarti, tak usah mengagung-agungkan sains seakan-akan tanpanya iman seseorang itu naif. Sains memang bisa menjelaskan, tetapi tak mengambil alih iman kepercayaannya. Paling banter, mengoreksi data sekunder yang bisa jadi meleset, tetapi tak mengganti secara total kepercayaan orang beriman.

Contohnya sederhana sekali. Berdasarkan analisis Kitab Suci Yudeo-Kristiani, dulu orang punya paham mengenai tata surya yang bersifat geosentris. Pada zaman modern, paham itu dikritik habis-habisan oleh para saintis yang menyodorkan paham heliosentris. Akhirnya, heliosentrisme diterima. Apakah keyakinan Yudeo-Kristiani tadi hilang? Jebulnya ya tidak tuh. Apakah keyakinan mereka naif? Gak juga, karena tradisi Yudeo-Kristiani itu melihat keterbatasan konteks sejarah para penutur dan penulis Kitab Suci mereka, tetapi tetap terpaut pada Dia yang menjadi sumber dari segala sesuatu.

Keterpautan-pada-Dia itulah yang tak bisa dipikirkan dengan logika telur ayam petelur tadi. Orang tinggal nyemplung saja dulu, nanti yang lain-lainnya akan mendapatkan penjelasan sejauh rasionalitas orang dipakai dalam koridor iman kepercayaannya itu.
Tuhan, ajarilah kami untuk terlibat aktif menguak misteri cinta-Mu dalam setiap pilihan yang kami jalani
. Amin.


PESTA BARTOLOMEUS RASUL
(Senin Biasa XXI A/2)
24 Agustus 2020

Why 21,9b-14
Yoh 1,45-51

Posting 2019: Veni, Vidi, Vici
Posting 2018: Murid Belagu
Posting 2017: Mari Sepedaan
Posting 2016: Santo Pandir?
Posting 2015: Mau Bikin Menara Babel?