RI 360°

Published by

on

Ini bukan perkara plat nomor kendaraan pejabat atau pagar laut bambu sepanjang 36(0) km, melainkan perkara relasi makro dan mikrokosmos yang beberapa hari lalu saya singgung. Poinnya sederhana: kekacauan sosial hanyalah cerminan kekacauan institusional yang dihuni orang-orang kacau. Jangan lupakan teori bahwa dalam masa kekacauan, model kepemimpinan yang cocok adalah otoritarianisme. Itu artinya, alat kekuasaan sepenuhnya didikte oleh penguasa dan segala masalah hanya bisa diselesaikan lewat tindakan opresif ala militer.

Harapan saya dulu membuncah ketika presiden sebelum ini mengubah pendekatan pasukan pengamanannya menjadi lebih manusiawi terhadap rakyat. Jika alat kekuasaan punya mindset manusiawi, tata kelola lainnya pun akan lebih insani. Apa daya, politik pragmatisnya akhirnya mengubur revolusi mentalnya sendiri karena yang insani itu diserong juga oleh benih lama KKN zaman Orba dan seakan-akan hidup ini bergerak seperti lingkaran, kembali ke tempat semula. Tentu, tidak persis ke tempat semula tetapi lebih tinggi atau lebih rendah sedikit.

Gereja Katolik hari ini merayakan momen epifani ke-3, yaitu pembaptisan Yesus dari Nazareth. Tak perlu ambil pusing oleh siapa dan bagaimana ia dibaptis. Teks bacaan utama hari ini menyodorkan refleksinya terhadap peristiwa itu dan elemen penting yang ditunjukkannya di situ ialah bahwa ada nuansa doa dan insight bahwa Yesus dari Nazareth ini adalah anak yang dikasihi Allah. Singkatnya, dialah Anak Allah; dan sebagaimana saya sampaikan di sana sini, atribut ini tidak eksklusif dan tidak terhubung dengan kemampuan Allah untuk beranak pinak. Doa, yang mungkin perlu dilatihkan seperti saya tawarkan juga di blog ini, memupuk kesadaran akan identitas seperti ini.

Kultur semitik, mungkin seperti sebagian budaya di Indonesia, memahami ungkapan ‘anak’ sebagai sosok yang menyerupai atau memiliki kemiripan, bukan pertama-tama tampilan fisik, melainkan sifat-sifat atau karakternya. Itu mengapa lambat laun orang Kristen merefleksikan term ‘Anak Allah’ ini dalam relasinya dengan mindset Allah yang triniter. Akan tetapi, poin pentingnya bukanlah Allah Tritunggalnya sendiri, melainkan bahwa setiap orang diundang untuk, seperti Yesus, mengasimilasi sifat-sifat Allah, yang kiranya tidak arbitrer bin sewenang-wenang.

Semoga Anda dan saya memiliki kemampuan, seperti daun, untuk mengasimilasi Cinta yang asertif yang terbebaskan dari KKN. Amin.


PESTA PEMBAPTISAN TUHAN C/1
Minggu, 12 Januari 2025

Yes 40,1-5.9-11 atau Yes 42,1-4.6-7
Tit 2,11-14 atau Kis 10,34-38
Luk 3,15-16.21-22

Posting 2019: Politik Cinta
Posting 2016: Pakai Barang, Cintai Orang

Previous Post
Next Post