Kalau Anda dan saya adalah bagian dari status quo kekuasaan, kita akan melihat segalanya baik-baik saja sampai para korban dan simpatisannya memampangkan protes; itu juga kalau kita tidak buta. Begitu pula, jika Anda dan saya pro status quo, kita akan menganggap semuanya baik-baik saja sampai para korban dan simpatisannya berteriak-teriak; itu juga kalau kita tidak tuli.
Teks bacaan utama hari ini menggambarkan bagaimana proses kesembuhan terjadi. Tidak seperti biasanya, kesembuhan orang buta di sini terjadi secara bertahap. Tahap pertama, si buta mulai bisa melihat orang. Artinya, ia tahu atau berasumsi bahwa yang dilihatnya itu adalah orang yang berjalan-jalan, tetapi kelihatan seperti pohon. Jadi, ia seakan melihat pohon-pohon berjalan-jalan. Betapa kurang kerjaannya pohon-pohon itu! Tahap berikutnya barulah ditunjukkan kesembuhan totalnya: ia melihat segala sesuatu dengan jelas.
Anda bisa jumpai kenyataan yang barangkali Anda alami sendiri. Pergi ke dokter dan diberi obat, dan meskipun dokter memberi petunyuk untuk menghabiskan obat tertentu, Anda tidak menghabiskannya dan berhenti minum atau makan obat setelah Anda merasa lebih baik atau sudah sembuh. Mungkin memang Anda sudah sembuh, tetapi barangkali hanya sampai pada tahap melihat orang-orang seperti pohon berjalan itu.
Begitulah kiranya status quo memandang kenyataan: dasarnya adalah asumsi, perasaan, prasangka, dugaan, kekhawatiran, ketakutan, dan sejenisnya. Hal-hal itu membuat Anda dan saya tidak bisa melihat segala sesuatu dengan jelas. Memang bisa melihat atau mendengar, tetapi objeknya sudah kita saring dulu dengan kepentingan status quo itu: pokoknya tetap pegang kuasa, tetap punya akses kekuasaan meskipun bukan lagi penguasa, dan seterusnya.
Apakah tendensi itu hanya berlaku untuk ranah politik kekuasaan? Ya, memang hanya untuk ranah politik kekuasaan, tetapi politik kekuasaan itu bisa hadir di mana-mana, dari level keluarga sampai level bangsa manusia, dari bidang olah raga sampai ranah agama.
Di sini Anda dan saya bisa bertanya pada diri sendiri: jangan-jangan, kebanyakan dari kita hanyalah berasumsi bahwa kita beragama atau beriman. Jangan-jangan kita hanya berprasangka bahwa kita mengenal sosok Yesus, sosok Nabi Muhammad, atau sosok lainnya. Ini tak jauh berbeda dari mereka yang mengklaim bahwa hukum yang mereka bikin adalah hukum Tuhan sendiri, demi kemaslahatan, dan seterusnya. Asumsi lebih kuat dari kenyataan karena orang tak berkomitmen untuk melihat segala sesuatunya dengan jelas.
Tuhan, mohon rahmat kejernihan hati dan budi untuk membongkar asumsi-asumsi yang menjauhkan kami dari cinta-Mu. Amin.
RABU BIASA VI C/1
19 Februari 2025
Posting 2019: Jangan Pulang Kampung
Posting 2017: Cuit Cuiiiiiiiit
