Jangan Pulang Kampung

Beberapa waktu lalu pernah saya sisipkan klip video kacamata ajib yang membuat orang buta warna jadi terharu karena untuk kali pertama melihat keindahan dunia warna pada posting Khilaf (lagi) Ah. Teks hari ini menceritakan bagaimana tahapan kesembuhan yang dilalui seorang buta: melihat sesuatu, melihat secara samar-samar, melihat secara jelas. Entah bagaimana tahapannya dalam dunia medis zaman now dan berapa lama dibutuhkan untuk tahapannya itu. Akan tetapi, penyembuhan yang dilakukan Guru dari Nazareth juga begitu simbolis: ia meraih tangan orang buta itu dan menuntunnya ke luar desa. Ini seperti cara kerja cura personalis Sang guru yang saya paparkan dalam posting Direct Message. Ia menuntun orang buta itu keluar dari kebiasaan hidupnya yang tanpa warna, bahkan gelap. Bisa jadi, hidup di desanya itu hidup rutin tanpa warna, gelap dan pasti tanpa listrik.

Oh iya, dulu sewaktu saya hidup di desa, sewaktu masih seumuran dengan cucu Pak Jokowi itu, dan sempat tertular sakit bèlèkan (gimana nulisnya ya), nenek saya mengoleskan air liurnya ke kelopak mata saya dan tak lama kemudian sakitnya pergi. Barangkali dalam teologi orang Yahudi dulu, air ludah yang dioleskan di mata itu juga adalah simbol energi kuasa Roh Kudus. Entah mau diteologikan bagaimana, pokoknya air ludah itu jadi bagian penyembuhan si buta. Belum total sembuhnya sih, dan Sang Guru kembali meletakkan tangannya di atas mata si buta itu, dan sembuh totallah ia.

Yang menarik perhatian saya bukan kesembuhan totalnya, melainkan pesan Sang Guru setelah kesembuhan si buta itu dan itu juga saya tangkap secara simbolis. Apa pesannya? “Jangan kembali ke desa!” Pasti Guru dari Nazareth ini tidak sedang bicara soal 17 April dan berpesan kepada seluruh warga supaya tak usah pulang kampung untuk nyoblos gambar satu capres soalnya bisa nyoblos di tempat ia berdomisili. Ini pesan simbolis: tak usah kembali ke dunia kerumunan yang membuat orang mengalami kegelapan dan hidup yang tanpa warna tadi.

Pesan ini tetap relevan untuk zaman now. Kerumunan memang menarik, dengan segala iming-imingnya, entah yang sawang sinawang maupun yang cuma bisa diterawang sambil terbengong-bengong. Akan tetapi, menurut gerak teks narasi hari ini, kalau orang sudah mendapat pencerahan, sebaiknya ia tidak melangkah mundur, kembali ke abad gelap, alias move on aja. Ini sangat relevan apalagi kalau bersinggungan dengan agama, yang sebagian pemeluknya berlagak mengerti keaslian dan kebenaran agamanya. Ini bikin peradaban yang sekian lama dibangun jadi ancur ya ancur. Tentu ini berlaku juga untuk level individual sebagaimana dialami oleh orang buta di Betsaida dalam narasi teks hari ini.

Ya Allah, mohon rahmat supaya kami tak jatuh dalam godaan untuk menghancurkan peradaban kemanusiaan yang sudah sekian lama dibangun para pendahulu kami. Amin.


SELASA BIASA VI C/1
20 Februari 2019

Kej 8,6-13.20-22
Mrk 8,22-26

Posting Tahun VI A/1 2017: Cuit Cuiiiiiiiit
Posting Tahun VI A/2 2014: Dengarkan Dulu