Saya menerima diri sebagai bagian dari kekristenan, tetapi sejujurnya, saya kehilangan antusiasme terhadap gelar-gelar kristologis semacam Mesias atau Anak Allah yang dilekatkan pada Yesus dari Nazareth. Rasa saya, itu usang dan tak bermakna, juga jika itu dipadankan dengan Ratu Adil atau Satriyo Piningit. Masalahnya bukan bahwa gelar-gelar itu tak tepat dilekatkan pada Yesus, melainkan bahwa gelar-gelar itu sendiri tak berbunyi untuk saya. So what gitu loh kalau Yesus ini Mesias atau Anak Allah?
Teks bacaan utama hari ini mendukung sentimen saya: Yesus sendiri memarahi Petrus yang menyebutnya sebagai Mesias. Tentu, penyebabnya bukan pada sebutan Mesias itu sendiri, melainkan konsep Mesias yang dipelihara Petrus. Konsep peliharaan Petrus itu, jangan-jangan adalah juga konsep yang Anda pelihara tentang Tuhan, apa pun keyakinan religius Anda. Petrus ini mengerti betul Mesias sebagai sosok yang dipilih Allah sebagai penyelamat. Ia mestinya akrab juga dengan kisah bagaimana Daud, sebagai anak bungsu, secara tak terduga dipilih sebagai raja yang diurapi Samuel. Akan tetapi, ia tak pernah terima bahwa dia yang diurapi itu dibunuh.
Dalam konsep Petrus tentang Mesias itu, tidak ada kamus penderitaan. Dia hanya pikir perkara kemuliaan; tidak mungkinlah Mesias menderita. Ini adalah konsep ekstrem yang berseberangan dengan konsep ekstrem lain bahwa penderitaan itu adalah bagian rencana Allah sendiri. Ngeri gak sih orang mati kelaparan karena korupsi yang berurat akar sampai level RT dan pemuka agamanya bilang itu sudah suratan takdir Allah? Takdir Allah itu korupsinya atau orang mati kelaparannya? Dua konsep ekstrem itu bermasalah dan semoga Anda terlepas dari keduanya dan membangun keyakinan yang lebih imbang mengenai kebangkitan dan salib.
Barangkali keyakinan seimbang itu bisa dibangun lewat pemahaman yang tepat mengenai doa. Saya tidak bisa mengklaim doa yang seimbang itu seperti apa, tetapi saya bisa meyakinkan Anda bahwa doa tidak pernah menjadi tujuan pada dirinya sendiri. Jadi, Anda dan saya akan jadi naif jika lega hanya karena sudah menjalankan ritual doa tertentu, entah itu novena, jalan salib, dan lain sebagainya. Doa adalah sarana untuk sesuatu yang lain dan, celakanya, yang lain itu muaranya bukan keinginan mbilung Anda dan saya, melainkan kehendak Allah sendiri, yang tidak mungkin ada di bawah paksaan Anda dan saya. Dengan kata lain, jika Anda dan saya berdoa supaya Allah menyambar koruptor dengan petir, itu pasti bukan doa sejati. Doa sejati, yang juga penting dalam proses penyembuhan, membuka diri Anda dan saya untuk mencari tahu apa yang Tuhan inginkan dari Anda dan saya perbuat dalam penderitaan, dalam proses penyembuhan itu.
Tuhan, mohon rahmat ketekunan untuk mencari dan melaksanakan kehendak-Mu dalam hidup bersama kami. Amin.
KAMIS BIASA VI C/1
21 Februari 2019
