Indonesia Emak

Published by

on

Jika becermin dari sindrom katak mendidih, mungkin kita mendapati diri mengidap prokrastinasi, tendensi menunda-nunda pekerjaan. Kalau tidak, kemungkinan besar memang kualitas kemanusiaan kita merosot jadi seperti pohon, yang tidak bisa berpindah tempat sendiri. Akan tetapi, entah jadi pohon yang tak mampu beradaptasi dengan berpindah tempat atau kemampuan adaptasi selelet katak, Anda dan saya tak perlu berangan-angan bahwa suatu saat kelak kita akan mengalami Indonesia Emas, pun jika itu ditetapkan tahunnya 2045. Hanya tahunnya yang emas, orangnya ya tetap lemas menahan cemas. Jadi, ada benarnya juga sih kata opung: elo yang lemas, bukan Indonesia.

Cuman, seperti kemarin-kemarin saya bilang, orang berposisi status quo cara melihatnya berbeda dari mereka yang tak diuntungkan status quo. Misalnya ya, Anda yang sudah punya gurita aneka macam usaha, juga dalam bisnis pendidikan, tidak akan punya persoalan dengan reshuffle menteri pendidikan. Semua baik-baik saja, juga kalau mandatory spending APBN untuk pendidikan terkena efisiensi sesuai arahan pesinden. Sementara itu, mereka yang menggumuli kebijakan pendidikan institusi tempatnya mengais rezeki tidak bisa seenaknya mengubah-ubah kebijakan. Begitu pula, Anda yang punya kuasa menarik pajak bisa dengan percaya diri menentukan deadline pengumpulan pajak. Sementara mereka yang pontang-panting bayar pajak tidak punya kuasa menentukan deadline kapan APBN itu disetor ke guru honorer. Jadi absurd, kan, “Indonesia gelap” dan “Indonesia baik-baik saja”? Bergantung dengan perspektif mana Anda melihatnya.

Teks bacaan utama hari ini menunjukkan perspektif tertentu, yang tampaknya juga masih dipahami dengan perspektif lain sehingga jadi absurd lagi. Jadi jadi jadi, perspektif yang disampaikan Yesus itu jelas tidak berasal dari status quo: menyangkal diri, memeluk penderitaan. Perspektif ini juga disodorkan dalam bacaan pertama: kacaukan status quo, yang bertendensi membangun menara Babel. Status quo mencoba membangun monumen, membombardir orang dengan legacy yang diklaim takkan mangkrak. Begitulah. Panggilan Yesus menantang status quo, murid-muridnya malah mencoba membangun status quo. Tidak bisa lebih absurd dari itu.

Alhasil, panggilan Yesus sangatlah tidak populer karena targetnya bukan lagi hasil, melainkan cara orang mencapai hasil itu. Ini soal di sini dan sekarang, hic et nunc. Penyangkalan diri adalah cara untuk meruntuhkan Babel, cara mengikuti gerakan Yesus (dan para nabi lainnya). Memeluk penderitaan tak mungkin sama dengan dihimpit penderitaan. Yang pertama adalah cara menyangkal diri. Yang kedua adalah akibat atau dampak membiarkan status quo yang membuncah.

Tuhan, mohon rahmat keberanian untuk mengikis tendensi status quo dalam hidup keagamaan kami. Amin.


JUMAT BIASA VI C/1
21 Februari 2025

Kej 11,1-9
Mrk 8,34-9,1

Posting 2017: Ksatria

Previous Post
Next Post