Sebetulnya sudah sejak Orba saya tahu bahwa rakyat jelantah diperbodoh oleh penguasa. Saya juga sadar bahwa saya sebagai bagian dari rakyat jelantah memang bodoh. Itu baiknya [atau bodohnya?] penguasa, membiarkan saya mengenyam pendidikan sekolah, yang bikin saya semakin mengerti betapa bodohnya saya. Baru setelah menjelang krismon 1997, meskipun saya tetap bodoh, saya merasa muak, mengapa saya tak dapat berbuat apa-apa terhadap mereka yang bermain di panggung politik dengan aneka topeng yang mereka punya. Itu berlangsung sampai sekarang, dan mungkin selama-lamanya!
Sampai di sini, saya tak bisa lagi membangun tembok batas antara saya dan mereka. Kalau mereka bisa memperbodoh rakyat jelantah, saya pun bisa melakukannya. Artinya, saya punya potensi untuk memperbodoh rakyat jelantah. Potensi itu tak bisa saya realisasikan karena saya tidak sedang menjabat sebagai pesinden atau menteri atau direktur BUMN atau pengawas dana se-Nusantara. Meskipun demikian, pada prinsipnya, saya pun dapat memperbodoh orang lain yang barangkali secara objektif kondisinya lebih lemah, entah secara ekonomi, sosial, intelektual, politik, dan seterusnya.
Teks bacaan utama hari ini mengundang Anda dan saya untuk memperlakukan mereka yang kecil sebagai sosok yang bermartabat dan punya harga diri. Mengapa teks itu memberikan undangan demikian? Tampaknya karena yang umum diterima saat teks itu muncul ialah bahwa anak-anak benar-benar tidak diterima sebagai pribadi. Sampai sekarang, keadaan itu tentu masih ada di balik ungkapan semacam “Namanya juga anak-anak” “Ya maklumlah, anak-anak.” Bisa dimengerti tentu saja bahwa anak-anak tidak sama dengan orang dewasa dan, dengan demikian, tidak semua hal pantas diberikan kepada mereka seperti diberikan kepada orang dewasa.
Meskipun begitu, persoalannya bukanlah siapa pantas mendapat apa, melainkan bagaimana orang memperlakukan pribadi lain sebagai sosok yang punya harga diri dan martabat. Sebagian penguasa secara arogan menunjukkan dirinya kuat dan membantu yang lemah, tetapi pada kenyataannya memperdaya, membodohi yang lemah. Itu mengapa di sana-sini dapat dijumpai orang yang berprofesi pengemis, apa pun labelnya. Intinya mirip-mirip dengan rentenier, dengan usaha dan modal seminim mungkin mengeruk cuan sebanyak mungkin.
Tak mengherankan, ada sebagian warga yang beranjak dari kebodohan dan lebih mendesak pendidikan gratis daripada makan gratis. Apa daya, memang lebih mudah memberi makan gratis daripada pendidikan gratis. Bayangkan, bagaimana bisa saya mengajar murid-murid yang pusing untuk berpikir lantaran perutnya keroncongan?
Akan tetapi, bahkan jika perlu memberi makan gratis pun, dan itu yang jadi salah satu tugas saya sekarang meskipun tidak bekerja sama dengan BGN, saya tidak ingin diperbodoh dan memperbodoh orang lain: mereka sendiri perlu menghargai martabat dan harga diri mereka, bukan asal ngemis minta makan.
Tuhan, ajarilah kami kerendahhatian sejati untuk memperlakukan mereka yang lemah dan tersingkir sebagai pribadi yang bermartabat dan berharga.
SELASA BIASA VII C/1
25 Februari 2025
