Kalau ingin Indonesia maju, Anda butuh kualitas pelayanan publik yang mumpuni. Kalau ingin Indonesia adil makmur, Anda juga butuh kualitas pelayanan publik yang mumpuni. Sayangnya, kualitas pelayanan publik yang mumpuni tak akan tercipta jika orang-orang kuncinya lebih doyan promosi diri berorientasi kekuasaan. Itulah yang digambarkan dalam teks bacaan hari ini. Ketika Guru dari Nazareth kembali omong soal antisipasi penderitaan yang akan menimpanya (sebelumnya sudah disampaikan pada Mrk 8,27-38), para murid justru sibuk berwacana mengenai siapa dari mereka yang paling qualified sebagai pemimpin, 01 atau 02 #halahyajelas01tohsebelum02.
Menarik, Guru dari Nazareth punya kalkulasi waras: memperbaiki kualitas pelayanan publik itu mau tak mau mesti memangkas peluang korupsi demi promosi diri. Peningkatan kualitas pelayanan publik mengandaikan setiap orang menundukkan egoismenya pada kepentingan bersama. Ini tidak enak, sebisa mungkin dihindarkan. Maka, paradigma kompetisi dibangun, orang berlomba-lomba mengambil posisi untuk bisa memerintah, alih-alih bekerja melayani kepentingan publik. Ini tidak cuma terjadi pada ranah politik sekuler, tetapi juga pada ranah religius. Murid-murid Guru dari Nazareth itu rupanya teracuni juga oleh ideologi dominan berkenaan dengan kekuasaan, sebagaimana orang zaman now sulit melepaskan diri dari paham konsumerisme (begini kata KBBI: paham atau gaya hidup yang menganggap barang-barang (mewah) sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan, dan sebagainya; gaya hidup yang tidak hemat).
Memang ironis: Sang Guru merendahkan diri, murid-muridnya malah hendak meninggikan diri. Begitu pulalah kiranya orang yang berpengetahuan luas, ia malah tidak menganggap diri tinggi; sebaliknya orang yang pengetahuannya sempit, justru menganggap pengetahuannya adalah segala-galanya. Tak mengherankan, orang-orang fanatik, ekstrem dalam agama ialah justru mereka yang pengetahuan agamanya dangkal sehingga rajin-rajinlah mereka berkoar-koar sebagai pembela agama, bahkan pembela Tuhan.
Apa yang dibuat Guru dari Nazareth terhadap para muridnya yang dangkal itu? Apakah ia menegur dan memarahi mereka dan melemparkan hapenya? Pasti tidak.
Ia menarik perhatian mereka kepada seorang anak, yang rentan dijadikan objek kekuasaan, seakan-akan ia hendak mengatakan bahwa kekuasaan mesti dipakai bukan untuk promosi diri dan dominasi, melainkan untuk merendahkan diri dan melayani (kepentingan publik) mereka yang tanpa kuasa. Ini kode keras untuk Gereja Katolik zaman now, yang belakangan ini mulai dengan lapang dada mengakui diri bahwa dalam sejarahnya telah mengabaikan mandat Guru dari Nazareth: alih-alih mengambil anak kecil sebagai simbol antidominasi, malah mendominasi dan melecehkan mereka dengan kekerasan seksual yang dampaknya sungguh destruktif.
Saya kira ini juga masa yang baik untuk mendoakan para pemimpin agama supaya tanpa gentar mengajak umat untuk tidak mengedepankan dominasi demi promosi diri, tetapi dengan rendah hati mengakui kerapuhan sekaligus memupuk harapan untuk mewujudkan kebaikan bersama.
Ya Allah, mohon rahmat supaya kami boleh jadi pelayan-pelayan warta gembira-Mu. Amin.
SELASA BIASA VII C/1
26 Februari 2019
Posting Tahun A/1 2017: Pendekar 212
Posting Tahun C/2 2016: Cinta via Luka
Posting Tahun A/2 2014: Joy: Jesus-Others-Yourself
Categories: Daily Reflection