Saya tidak akan menyalahkan Anda karena romantisme yang Anda pelihara, baik dalam hal cinta-cintaan maupun dalam hal agama atau kebangsaan dan lain-lainnya. Akan tetapi, kalau Anda memelihara romantisme Pertamina, saya akan menyalahkan Anda. Jangan khawatir, cuma saya salahkan, saya tidak menuntut apa-apa dari Anda.
Saya pernah bertatap muka dengan pemuda yang terhubung dengan Pertamina, bukan sebagai pemakai Premix atau bensin Super Tanpa Timbal, melainkan sebagai sosok yang hidupnya bergantung pada Pertamina. Itu artinya, karena keluarga pemuda ini membayar lembaga tempat saya bekerja, lembaga saya pun terhubung dengan Pertamina. Hubungannya mungkin romantis, tetapi dengan pemuda ini saya tak merasakan romantis-romantisnya. Malahan, kami terlibat dalam ‘debat panas dingin’ karena pemuda ini berusaha menyadarkan saya bahwa di dunia ini orang tak bisa hidup tanpa uang, dan karenanya ia tidak ingin munafik dan memang bercita-cita mengumpulkan sebanyak mungkin uang.
Saya mengafirmasi niat baiknya dan tidak menyangkal bahwa orang tak bisa hidup tanpa uang, bagaimana juga orang mau mendefinisikannya, karena Anda dan saya lahir setelah kemunculan uang. Yang jadi concern saya hanyalah perkara bagaimana uang itu diperoleh dan untuk apa uang itu diperoleh; dan pada saat itu saya sudah menyimpan kecurigaan bahwa di lembaga itu orang akan dengan mudah memainkan peran sebagai rentenier dan uang yang bisa dicomot dari sana pasti jumlahnya ratusan kali lipat dari nominal skandal Century, yang juga meludeskan uang rakyat. Tadi malam, koh Ahok sudah blak-blakan omong soal ini; Anda dan saya bisa jadi kecipratan sebagian kecil atau besar dari cuan yang digarong dari pengelolaan Pertamina itu.
Concern saya bukan bahwa Anda dan saya bisa jadi terima manfaat dari penggarongan itu, melainkan bahwa kesulitan kita menghubungkan agama dan hidup bersama justru berasal dari romantisme palsu kita mengenai anak-anak. Bisa jadi teks bacaan utama hari ini menjerumuskan Anda pada pengertian anak-anak polos dan lugu yang hidupnya bergantung sepenuhnya kepada orang yang dipercayainya. Itu betul, tetapi konteks zaman now jelas berbeda. Pada zaman Yesus memang anak-anak tak dianggap sebagai pribadi. Itu mengapa beliau diceritakan mengambil anak-anak sebagai ukuran untuk Kerajaan Allah: bahwa orang mesti memanusiakan anak-anak juga.
Alhasil, romantisme bisa menyesatkan dan kesesatan ini perlu Anda dan saya bongkar. Pada zaman now, Yesus kiranya tak akan merangkul anak-anak unyu-unyu untuk memberi pengajaran mengenai Kerajaan Allah. Ia akan ‘merangkul’ puluhan ribu karyawan yang di-PHK setelah janji manis jutaan lapangan kerja; ia akan ‘merangkul’ para pengusaha kecil dan menengah yang diplekotho kekuasaan yang dibuai romantisme seakan-akan merekalah yang bisa menyelamatkan bangsa ini dari keterpurukan dan menepuk dada bahwa Indonesia baik-baik saja dan berjoget ria di penghujung acara.
Tuhan, mohon rahmat kejernihan hati dan budi supaya kami dapat memanusiakan sesama. Amin.
SABTU BIASA VII C/1
1 Maret 2025
Posting 2019: Hati tanpa Bias
Posting 2017: How small U can feel
