Adakah ciptaan di dunia ini yang eksis untuk dirinya sendiri? Lirik lagu cengeng (atau cemen?) “Kau tercipta untukku” menyangkalnya dan garam pun tidak eksis untuk dirinya sendiri. Itu mengapa jika keasinan garam menjadi pilihan belaka (ada garam asin, kurang asin, dan tidak asin), ia kehilangan fungsi eksternalnya; perannya akan diambil alih ikan asin dan namanya akan hilang dari sejarah peradaban.
Nasib serupa bisa terjadi pada ‘terang’ dan ‘kota’ yang dipakai sebagai metafora dalam teks bacaan utama hari ini. Tidak mungkin kita menyalakan flashlight hape kita untuk menerangi layar hape kita sendiri.
Ya mungkin saja, Rom, kan hape saya ada lima!
Betul, tampaknya Anda belum pernah merasakan oseng-oseng hape atau sandal jepit sambal matah ya? Berapa pun hape Anda, lampu masing-masing hape itu tidak dicipta untuk menerangi dirinya sendiri.
Kota yang dibangun di atas bukit juga tidak mungkin ditutupi dengan kubah besar supaya penghuninya yang korup itu tak kelihatan dari kejauhan. Ha njuk apa faedahnya membangun kota yang tak kelihatan?
Metafora garam, terang, dan kota adalah kritik terhadap agama yang semata-mata personal dan privat bin individual. Ia mestilah universal dan publik. Universal artinya nilai-nilai yang dipersaksikannya, bukan detail praktiknya, dapat dihidupi semesta tanpa batas geografis atau sekat SARA. Publik artinya ia punya peran yang berdampak sesuai dengan core values yang diperjuangkannya.
Sayangnya, metafora itu bisa jadi cuma ditangkap seupil. Alih-alih membuat flashlight wave atau flashlight moment, sebagian penganut agama malah melacurkan core valuesnya dengan tambang, dengan bisnis rohani, dengan mendompleng status quo kekuasaan. Agama diakui negara, mungkin terakreditasi unggul, tetapi tak sanggup menghentikan arus korupsi dan pengemplangan kekayaan alam dan rakyat. Kenapa? Karena orang-orangnya, Anda dan saya, menghidupi agama secara individualis dan narsisistik.
Yang pertama membuat ritual kita terasing dari kenyataan sosial-ekonomi-politik-budaya. Yang kedua mengaburkan kenyataan bahwa agama, bagi kebanyakan orang bukan perkara relasi yang tulus dengan Sang Pemberi Hidup, melainkan hanya kategori politik kekuasaan untuk survival dan ritual agama seakan-akan jadi lebih berkuasa daripada Allah sendiri. Semuanya sama-sama membuat Anda dan saya keblinger dan alih-alih memecahkan permasalahan, kita menjadi bagian dari permasalahan itu.
Semoga Anda dan saya mendapat rahmat yang cukup untuk kembali ke fitrah, kepada core values yang ditanamkan Allah bagi dunia sekeliling. Amin.
Selasa Biasa X C/1
10 Juni 2025
Selasa Biasa X A/1 2017: Agama Hambar
Selasa Biasa X B/1 2015: Urip Selo
