Sebelum halaman ini, disampaikan pengalaman berkenaan dengan kesadaran, yang rupanya menyembunyikan kisah cinta menarik antara pikiran dan tubuh. Mari kita tilik sebentar. Pada saat badan saya dingin karena lemas kekurangan oksigen, saya masih tetap berpikir, bahkan saya berupaya mengomunikasikan diri saya dengan berteriak bahwa saya tidak apa-apa, cuma kekurangan oksigen. Akan tetapi, pikiran saya dan upaya untuk berteriak itu rupanya ‘tak sambung’ dengan mulut saya (yang kiranya waktu itu juga dingin seperti badan saya). Artinya, pikiran saya tetap berjalan meskipun sambungannya ke mata, mulut, dan tangan, terputus. Pikiran saya tetap bisa bekerja mencari objeknya, terlepas dari badan saya.
Itulah kiranya yang dulu diyakini René Descartes bahwa pikiran orang terbebaskan dari tubuhnya. Orang seakan-akan bahkan bisa melihat tubuhnya sendiri yang sedang memikirkan sesuatu. Ini kelak melahirkan pemikiran filsafat yang berujung pada idealisme, tetapi tak usahlah masuk ke sana. Saya hanya mau mengatakan bahwa kesadaran saya itu tidak bergantung pada objek fisik pikiran saya. Akan tetapi, apa benar sih kesadaran itu tidak bergantung pada objek fisik pikiran saya? Apa benar sih saya tetap berpikir meskipun badan saya lemas kekurangan oksigen? Lha ya benar, wong pengalaman itu memang menunjukkan kenyataan itu. Bagaimana kalau badan orang tidak lemas kekurangan oksigen tetapi tidur? Apakah ia berpikir, apakah ia sadar? Bisa jadi ada kalanya berpikir (saat bermimpi misalnya), ada kalanya tidak.
Akan tetapi, saya lebih terpesona lagi pada kenyataan bahwa setelah tidur, pikiran si ‘saya’ itu kok bisa ‘kembali’ lagi ke badannya ya? Kenapa keesokan hari ketika bangun tidur kita semua kembali ke tubuh yang seperti kemarin? Kenapa tidak pindah ke badan yang lain? Kenapa seperti terjangkar ke badan yang sama ya? Berarti, gak mungkin dong pikiran itu terpisah total dari badan orang, dan kalau begitu, pasti juga pikiran itu dipengaruhi oleh badan orang sendiri. Pikiran bahwa jangan-jangan saya mati itu datang karena saya gagal mengomunikasikan diri lewat badan yang sudah dingin (seturut sensor suara yang saya tangkap melalui telinga yang juga dingin mestinya). Muncul juga rasa takut [belon siap mati bo’!]. Singkatnya, kesadaran itu terkoneksi dengan tubuh.
Lalu, koneksi kesadaran dan tubuh itu letaknya di mana ya? Besar kemungkinan di otak. Akan tetapi, ‘di otak’ tidaklah sama dengan ‘otak’. Ada sebuah penelitian mengenai syaraf yang mengantar ahli syaraf pada pertanyaan besar mengenai adanya sesuatu di luar otak yang memengaruhi kinerja ingatan dalam otak. Penelitiannya sederhana. Ia cuma menghubungkan syaraf yang satu dengan syaraf yang lain pada otak. Ketika ia mengulang penyambungan syaraf itu, si pasien melakukan hal yang persis sama dengan yang dilakukan sebelumnya, entah gerak menendang atau menyenandungkan lagu tertentu.
Ahli itu berpikir,”Dia bertindak begitu karena saya menyambung-nyambungkan syarafnya. Jika ia dalam kondisi biasa, apa atau siapa yang menyambung-nyambungkan syaraf itu?” Mesti ada instansi lain di luar otak yang memengaruhi, menghendaki, memotivasi, dan lain-lainnya. Singkatnya, ada sesuatu yang nonfisik, yang memungkinkan seluruh fisik itu beroperasi untuk mengingat, menghendaki, berpikir, menggerakkan anggota badan, dan seterusnya. Ada sesuatu yang mengadakan itu semua, sebagaimana suatu instansi punya divisi pengadaan barang. Apakah instansi itu menciptakan barang? Tidak, ia tidak mencipta, ‘cuma’ mengadakan barang. Apakah instansi ini? Tuhan?
Selanjutnya, klik Metafisika Soto Pisah