Saya bukan pengagum Ronaldo (saya bahkan cenderung gak suka pada tabiatnya), juga bukan fans Real Madrid. Akan tetapi, saya tidak menutup mata bahwa Ronaldo menerima penghargaan Ballon d’or 2104 dan Real Madrid merebut juara Liga Champions 2014 setelah dilatih Carlo Ancelotti. Akan tetapi, kesuksesan Real Madrid – Ronaldo – Carlo Ancelotti tahun ini tidak begitu saja menghapus peran pelatih sebelumnya: Jose Mourinho, yang juga bukan pelatih favorit saya.
Baik Mourinho maupun Ronaldo adalah sedikit contoh dari pribadi yang memiliki ambisi dan gairah besar dalam profesi mereka. Sebisa mungkin mereka mengarahkan seluruh daya hidup mereka untuk selalu mendapatkan kemenangan dalam setiap pertandingan. Tentu saja manajer dan pelatih lain punya arah yang sama, tetapi saya ingin secara khusus menyoroti sepak terjang Mourinho dan CR7 di Real Madrid.
Ronaldo diboyong dari MU ke Madrid dengan nilai transfer 131 juta dollar Amerika. Kemampuannya tak meragukan: speed, pengolahan bola, penempatan diri, intuisi mencetak gol, dan sebagainya. Dia sendiri sempat mengukir rekor di Liga Spanyol dengan torehan 40 gol dalam satu musim. Gairah muda Ronaldo mengantarnya pada aktualisasi diri sebagai pemain sepak bola yang handal.
Akan tetapi, gairah muda saja tak cukup bagi kesuksesan tim. Dibutuhkan latihan, kerja keras, disiplin, kepatuhan terhadap instruksi manajer dan sebagainya.Pada musim perdananya di Madrid, Ronaldo tak bersinar, bahkan Real Madrid tak meraih trofi apa-apa. Baru setelah Mourinho menukangi tim bertabur bintang itu, Real Madrid sungguh menjadi ancaman terhadap dominasi FC Barcelona.
Individual skill dan gairah membara Ronaldo menjadi optimal justru ketika dia menempatkan diri dalam kerja sama dengan pemain lain di bawah arahan manajer yang sungguh mengenal karakter setiap pemain dalam tim. Pada awalnya Ronaldo sempat dicap sebagai pemain egois, pemain yang ingin eksis dengan individual skill dan banyak torehan gol. Mourinho menegaskan bahwa di tangannya, tak ada seorang pemain pun yang akan diistimewakan; semua pemain mengabdi kepentingan korps. Mourinho mengambil peran manajer tim dan Ronaldo mengambil peran pemain gelandang penyerang.
Memang, Mourinho-Ronaldo tidak memberikan banyak gelar bagi Real Madrid dan bahkan ‘musuh’ Mourinho menyindirnya sebagai pelatih yang prestasinya di bawah rata-rata dalam sejarah Real Madrid. Akan tetapi, soal prestasi klub tentu tidak bisa hanya diukur dari kekuatan klub itu sendiri karena klub lain pun punya target yang sama. Gagal menjuarai Liga Champions jelas bukan tolok ukur tunggal kemajuan klub.
Visi korps yang dihayati Ronaldo perlahan-lahan mengoreksi sifat egoisnya dalam tim. Pada saatnya Ronaldo mesti mau menerima kelemahan Xabi Alonso atau Sergio Ramos dan sebaliknya, Alonso dan Ramos mesti mengeluarkan kemampuan terbaiknya untuk menyokong Ronaldo (Benzema, Bale, dll). Disposisi semacam itu hanya mungkin berkembang jika masing-masing menempatkan misi korps sebagai konteks mereka untuk eksis. Sergio Ramos mengambil peran krusial dalam babak semifinal dan final Liga Champions tahun ini, tentu juga karena Ronaldo menjalankan perannya dengan baik.
Njuk apa hubungannya dengan semangat magis?
Ada bahaya orang keliru memahami semangat magis yang tertera dalam Azas dan Dasar Latihan Rohani St. Ignasius: asal semakin lebih, itu dianggap magis (yang artinya memang ‘lebih’). Lebih apa? Lebih keras, lebih sukses, lebih tinggi, lebih miskin, lebih lama, lebih misterius, dan sebagainya…
Bisa jadi begitu, tetapi yang paling pokok ialah lebih cocok bagi orang untuk mengabdi Allah. Setiap orang dipanggil untuk menemukan hal yang paling tepat baginya untuk mengabdi Allah: agama, status hidup selibat atau berkeluarga, profesi tertentu, dan sebagainya. Tidak hanya itu, bahkan setiap saat orang diundang untuk meneliti apakah pilihannya lebih tepat baginya untuk memuliakan Tuhan. Itulah makna magis yang sebenarnya dalam Latihan Rohani Santo Ignasius.
Manajer kehidupan ini adalah Allah sendiri. Jika orang tidak menemukan perannya, ia cenderung mereduksi pekerjaannya sendiri: saya ini hanya guru TK, saya cuma karyawan swasta, saya hanya pegawai puskesmas, dan sebagainya. Jangan-jangan, ungkapan seperti itu merupakan simtom bahwa orang tidak happy dengan dirinya, tetapi juga bahwa orang tidak terlibat sungguh dalam esprit de corps: Allah yang mengutus Putera-Nya dan Roh Kudus untuk membangun Kerajaan Allah di dunia.
Seandainya orang terlibat, ia punya harga diri dan greget semangat hidup, apapun profesi yang dipilihnya (karena dipilih atas dasar kriteria magis tadi): saya guru TK dan saya punya misi menanamkan nilai sosial sejak dini, saya PNS di tingkat kecamatan dan saya menjadi mediator antara warga dan pemerintah, saya penjual dawet ayu dan saya jaga kebersihan lingkungan sini. saya pemilik perusahaan dan saya mengupayakan kesejahteraan karyawan dan kontribusi perusahaan pada pemeliharaan lingkungan hidup di sekitar pabrik. Orang dengan gairah muda dan semangat magis ini tidak akan luntur di tengah jalan, tak akan korup karena pengaruh sekitarnya….
Punya harga diri tidak berarti kudu arogan ya, Ronaldo!
Categories: Personal Notes
You must be logged in to post a comment.