Selama ikut perayaan Ekaristi itu, seringkali saya mengamati perilaku umat dan melihat diri sendiri. Dari pengamatan dan pengalaman ‘menjadi umat’ itu, saya sangat maklum jika banyak umat bosan, wegah-wegahan mengikuti perayaan. Mengapa? Lha wong romonya kurang menyapa umat, kotbahnya tidak lucu, bacaannya panjang, nyanyiannya itu-itu saja dan bawaannya lemes. Tentu masih ada banyak alasan lain untuk menjadi bosan dengan perayaan Ekaristi. Di lain pihak, sebagai romo yang memimpin misa pun saya juga bisa punya rasa wegah jika mendapati umat wegah-wegahan dalam menjawab sapaan imam, wajah lesu, plonga-plongo, ngelamun, dan sebagainya.
Akan tetapi, kemungkinan bosan itu bisa saya kurangi karena, ndelalahnya, saya baca dulu teks kitab suci yang akan dipakai dalam misa; saya mencari pesan, merenungkannya pertama-tama untuk diri saya sendiri. Jika memimpin Ekaristi, saya tinggal melanjutkan refleksi dan membagikannya kepada umat lain.
Meskipun begitu, yang membuat saya tak bosan dengan Ekaristi bukan berkotbahnya. Saya senang hadir bersama umat lain. Meskipun tidak kenal setiap umat, saya melihat umat sebagai saudara dengan satu kepentingan: merayakan iman akan Yesus Kristus, bersama-sama. Lha, kalau umat stasi atau lingkungan atau paroki saling kenal, mungkin konsep mangan ora mangan asal kumpul justru bisa membuat Ekaristi tak membosankan.
Fokusnya bukan kor, kotbah, hosti, tata liturgi, kepentingan individu, melainkan perayaan iman bersama-sama. Kalau ini tidak dialami, barangkali salah satu alasannya ada di keluarga: gak pernah makan bersama sih (padahal Ekaristi kan asal muasalnya dari makan bareng itu)… Makan bersama lama-lama bisa membantu orang untuk “makan bersama”…artinya: perjumpaan, kebersamaan yang kualitatif.


You must be logged in to post a comment.