Seorang kawan muslim pernah bertanya bagaimana saya sebagai orang Katolik memandang Nabi Muhammad. Pertanyaan itu masih bisa dijawab dengan mudah karena hanya berkenaan dengan pendapat pribadi mengenai sosok nabi: setiap orang Kristen dipanggil untuk menjadi corong suara Allah di tengah masyarakat. Bukan hanya orang Kristen, semua umat beriman dipanggil untuk menyuarakan suara Allah, bukan suara sakit-hatinya seperti ahli hukum yang bisa memainkan rasa keadilan! Jadi, jangankan Nabi Muhammad, para pejuang keadilan modern pun saya hormati sebagai sosok yang menjalankan fungsi kenabian juga, karena ia menyuarakan kehendak Allah.
Yeremia mendapat tentangan dari kelompok imam dan nabi-nabinya. Sederhana saja, ia menyampaikan kritik atas perilaku bangsa yang menyeleweng dari kehendak Allah. Ini sejalan dengan teguran yang dilakukan oleh Yohanes Pembaptis kepada Herodes yang mengambil istri Filipus, saudaranya sendiri. Kritik seperti ini jelas melawan kepentingan Herodes. Herodes ingin membunuhnya, tetapi ia takut akan orang banyak yang memandang Yohanes sebagai nabi. Yohanes terlindungi oleh orang banyak yang memandangnya sebagai nabi. Demikian pula Yeremia terlindungi oleh para pemuka dan seluruh rakyat yang berbicara kepada imam-imam dan nabi-nabinya: Orang ini tidak patut mendapat hukuman mati, sebab ia telah berbicara kepada kita demi nama TUHAN, Allah kita.
Memang akhirnya toh Yohanes Pembaptis mati juga karena konspirasi Herodias yang menemukan celah untuk balas dendam. Akan tetapi, konspirasi seperti ini bisa menimpa siapa saja. Yang jelas, sebagai nabi memang Yeremia dan Yohanes Pembaptis menyerukan suara Allah dan karena kecenderungan orang tidak selalu sinkron dengan suara Allah, reaksi perlawanan bisa lebih dominan. Siapa yang melindungi para nabi dari gerakan kekerasan kelompok imam dan penguasa itu? Yaitu mereka yang menerima Yeremia dan Yohanes Pembaptis sebagai nabi.
Di panggung politik Indonesia saat ini ada kelompok yang, entah by design atau tidak, sedang mengacau masyarakat untuk membedakan mana nabi palsu dan nabi sungguhan. Mereka menyuarakan secara lantang demokrasi, rasa keadilan, kehendak Allah, tetapi isinya jelas soal kepentingan diri. Mereka bisa bicara soal people power tetapi isinya adalah kehausan mereka untuk mendapatkan power. Mereka bisa omong dengan bahasa aneh bin lucu yang berisi orientasi ke belakang dengan target uang. Semoga masyarakat Indonesia lebih pintar dari kelompok seperti ini dan bisa membedakan mana nabi betulan, mana na-bi-bir-loe…
SABTU BIASA XVII
Santo Petrus Faber (SJ)
2 Agustus 2014
Categories: Daily Reflection
You must be logged in to post a comment.