Omong Kosong Dialog Antaragama (3)

Published by

on

“Kita ketemu lagi nih Pak Ahong untuk bicara soal dialog antaragama ya. Semoga gak bosan, hehehe”
“Bosan ketemunya sih engga’, tapi ini wawancara terakhir soal ini lho ya!”
“Oke janji, Pak. Kemarin Bapak bilang bahwa pengalaman religius itu bisa jadi platform bagi umat beda agama dalam berdialog antaragama. Setelah saya pikir-pikir, benar juga ya. Misalnya mukjizat gak cuma terjadi dalam konteks agama Islam atau Kristen. Ada orang Kristen yang punya kurnia untuk menyembuhkan, tetapi orang Islam juga ada yang seperti itu. Ada jenasah umat Islam yang tak rusak setelah sekian tahun, tapi ada juga orang Katolik yang jenasahnya awet tersimpan dalam makamnya.”
“Nah itu kamu pasti mikirnya setelah makan ya.”
Si wartawan nyengir. “Iya, Pak, tapi apa hubungannya dengan dialog antaragama yang berbau teologis itu? Saya tetap belum menemukan di mana kontribusinya bagi dialog teologis karena orang Islam, misalnya, takkan bisa memakai sudut pandang orang Kristen dalam memahami Kitab Sucinya; juga sebaliknya. Itu yang Bapak kemarin bilang sebagai incommensurability. Berbagi pengalaman religius itu kan menunjukkan ada kesamaan pola pengalaman dalam aneka pengalaman religius. Orang Islam bisa punya pengalaman akan kesabaran Allah, cinta kasih, sebagaimana orang Budha juga menyodorkan compassion.
“Ya seperti dalam agama-agama itu juga ada kaum fundamentalis yang keras dan keji.”
“Iya, Pak. Kenyataan itu malah semakin menegaskan bahwa gak mungkinlah orang Kristen memahami sungguh-sungguh sistem kepercayaan Islam terhadap al-Quran atau orang Islam sungguh mengerti konsep kebenaran Kitab Suci Kristen. Sehingga, menurut saya gak fair membandingkan kedua Kitab Suci itu seolah-olah otoritasnya sama bagi masing-masing.”
“Nah, itulah kelirunya!”
“Saya keliru lagi, Pak?”
“Iya. Kamu pikir dialog teologis sebagai dialog pokok ajaran itu bertujuan untuk memahami pihak lain?”
“Loh, ya jelas dong, Pak. Dialog ya pasti ditujukan untuk memahami orang lain!”
“Itu omong kosong!” Gubernur Ahong mulai meninggi suaranya dan si wartawan terbengong-bengong. Mau makan cemilan tapi tak tersedia di situ.
“Kok isa, Pak?” Gaya semarangan jadi pelampiasannya.
“Kamu sendiri kan tadi bilang, gak mungkin orang Islam bisa sungguh-sungguh memahami sistem kepercayaan orang Kristen, dan sebaliknya. Kalau itu memang gak mungkin, ya jangan paksakan diri dong!”
Si wartawan berpikir sebentar.
“Hmmm… Jadi sia-sia ya dialog antaragama dalam arti dialog ajaran iman itu, Pak?”
“Ya gak juga!” Gubernur Ahong melotot dan si wartawan terbengong-bengong lagi.
“Aaaah, Pace ini putar-putar sa pu pernyataan. Sa bingung sudah!” Sekarang si wartawan melampiaskannya dengan style Papua.
“Lho saya cuma menyangkal kesimpulan-kesimpulan yang kamu bikin. Kamu kan bilang sendiri gak mungkin kita mengerti sungguh-sungguh sistem kepercayaan agama lain. Kalau begitu, jangan tujukan dialog itu untuk bener-bener ngerti sistem kepercayaan agama lain dong. Itu akan sia-sia. Tapi, itu kan bukan satu-satunya tujuan yang bisa kita kejar.”
“Lha trus untuk apa dong Pak berdialog kalau bukan untuk memahami orang lain?”
“Untuk semakin memahami diri lebih baik lagi dong!”
“Maksud Pak Ahong, untuk memahami iman kita sendiri secara lebih baik, begitu ya?”
“Itu sudah!” [Loh, kok jadi Gubernur Ahong yang bergaya Papua?]
“Hmmm… nangkep saya, Pak. Tapi untuk memahami iman sendiri lebih baik lagi, apa bukannya paling baik kita mempelajari warisan iman yang kita miliki sendiri sih, Pak?”
“Lha itu berarti kamu belum nangkep. Halah, kena tembak lagi deh si wartawan, kali ini mati terdiam.
“Kalau kamu cuma sibuk dengan sudut pandangmu sendiri, kamu tidak diperkaya oleh sudut pandang lainnya dan kamu bisa jatuh pada pemutlakan sudut pandangmu sendiri. Dari situlah juga muncul fundamentalisme agama.
Iya, Pak, saya ngerti, tapi belum punya ide seperti apa itu.”
“Nah itu berarti kamu belum ngerti. Kalau orang ngerti ya dia tahu contohnya dong. Waduh, si wartawan jatuh pada kesalahan yang sama. Mati deh, gak usah omong-omong lagi.
“Kalau kamu berdialog dan kamu minta orang lain mengerti benar-benar sudut pandangmu, itu bukan lagi dialog namanya. Apalagi kalau dialog itu ditujukan untuk menunjukkan salah benarnya dalil agama tertentu. Itu nanti bisa dakwah, bisa misi kristenisasi.”
Si wartawan jebulnya tadi cuma mati suri, mulutnya sudah membuka, tapi belum juga berbunyi sudah keduluan Sang Gubernur.
“Dialog ajaran iman itu adalah momen ketika kita mengambil jarak terhadap iman kita sendiri. Bukan untuk menyangkal iman itu, melainkan justru untuk semakin memperdalamnya dengan bantuan sudut pandang yang berbeda. Dialog teologis ini jadi prosedur untuk melakukan detour. Kamu pasti mau tanya penjelasannya kan?”
Belum sempat si wartawan menutup mulutnya yang tadi terbuka, Gubernur Ahong sudah lanjut lagi. “Mudahnya, kalau kamu berdialog dengan umat Islam mengenai ibadah puasa, kamu akan mendengar bagaimana bunyi hukum Islam mengenai puasa, dan pada gilirannya kamu sendiri mencari tahu bagaimana kristianitas menghayati puasa: landasannya, tujuannya, pokoknya, dan sebagainya. Ini bukan ajang untuk membandingkan dan menilai ajaran mana yang lebih baik, melainkan wahana untuk semakin mengerti sistem kepercayaanmu sendiri.”

Si wartawan benar-benar mati sekarang, tetapi kematiannya membawa bekal lumayan: dialog yang ditujukan untuk mencari agama mana yang lebih benar atau lebih baik adalah omong kosong. Dialog seperti ini pada dirinya sudah membawa kesesatan: bahwa agamanya adalah agama terbaik di dunia bagi semua orang di dunia.

Dialog antaragama yang sejati semestinya berangkat dari kesetaraan di hadapan Allah dan membuat peserta dialog semakin memahami iman agamanya sendiri dengan pengayaan sudut pandang yang berbeda. Yang Islam semakin Islam, yang Katolik semakin Katolik, yang Kristen semakin Kristen…

3 responses to “Omong Kosong Dialog Antaragama (3)”

  1. […] Akan tetapi, keragaman agama tidak menunjukkan keragaman iman. Intuisi saya mengatakan bahwa keragaman agama adalah keragaman cara pengungkapan iman. Imannya sendiri tidak beragam: semua, yang beriman, mengimani bahwa Allah adalah satu-satunya tujuan terakhir hidup manusia. Perbedaan cara menggapai tujuan itu tidak pantas dievaluasi sebagai cara yang bisa dipertentangkan satu sama lain karena sudut pandangnya memang berbeda. […]

    Like

  2. […] juga perlu dilakukan justru dengan membangun jaringan lintas agama. Di sini, diperlukanlah suatu dialog antaragama sampai dalam tataran hidup keseharian orang. Dengan begitu, Islam tetap memiliki peluang untuk […]

    Like

  3. […] Alih-alih takut atau khawatir dan fokus pada kristenisasi, mengapa tak berfokus saja pada keindahan kedalaman ajaran Katolik, Islam, Buddha atau Hindu? Menularkan kedalaman iman tidak bisa dilakukan dengan menjelekkan agama lain karena biar bagaimanapun being religious sekarang ini berarti being interreligious. […]

    Like