Tak ada petani yang selama 24 jam 7 hari seminggu menanam padi dan memelototi bagaimana benih padi itu bertumbuh. Bahkan, mungkin tak ada petani yang setiap hari mengukur berapa cm pertambahan daun padi, kecuali petani itu adalah juga peneliti atau asisten peneliti. Normalnya, ia pergi tidur di malam hari dan keesokan harinya bekerja seperlunya, tapi jelas tidak untuk memperhatikan bagaimana benih padi itu terus bertambah besar. Kurang lebih begitulah gambaran Yesus mengenai Kerajaan Allah. Tentu tumbuhan padi tak bisa dipadankan dengan biji sesawi yang cukup dilemparkan begitu saja ke tanah dan ia akan tumbuh bahkan tanpa campur tangan orang. Pokoknya, pertumbuhan Kerajaan Allah tak bergantung pada si penabur benih Kerajaan Allah itu.
Apa sih benih Kerajaan Allah itu? Ya apalagi kalau bukan Sabda Allah sendiri? Benih ini, begitu tertanam di hati orang, akan bertumbuh dengan kekuatannya sendiri. Runyamnya, tidak semua benih tertanam di hati orang. Sebagian menempel pada kosmetik wajahnya, sebagian belum sempat menempel sudah diserang polisi jahat (loh polisi kok jahat? Lha iyalah, emangnya semua polisi baik? Roh aja gak semua baik kok), sebagian lagi masuk dalam syaraf untuk mengangguk-anggukkan kepala demi political correctness. Ini sudah dijelaskan dalam perumpamaan sebelumnya pada Injil Markus (4,3-9). Hanya Sabda Allah yang sungguh masuk dalam hati oranglah yang akan menampakkan kekuatan aslinya, sebesar atau sekecil apa pun (bdk. bagian kedua dari perumpamaan: biji sesawi yang sangat kecil tetapi pohonnya jadi begitu besar)!
Maka, sebaiknya kita yang menaburkan benih alias Sabda Allah, tak perlu jadi arogan mengambil peran di luar menabur: entah jadi polisi, entah mengadili, entah menghakimi. Mengapa? Karena kita tak punya tolok ukur untuk menilai perkembangan benih Sabda Allah dalam diri orang lain. Loh, kan sudah ada Hukum Gereja toh, Romo? Memang, tetapi Hukum Gereja itu pun mengikat (suara) hati orang, tidak memborgol tangan dan kakinya (itu ranah hukum sipil). Bahkan orang Katolik yang menyebarkan semangat makar terhadap Paus Fransiskus pun (yaitu mereka yang mengakui Paus Benediktus XVI sebagai paus terakhir), tak pernah ditindak pidana oleh polisi Vatikan di sana atau perwakilannya di sini! (Padahal, jelas-jelas kelompok seperti ini mengekskomunikasikan dirinya dari lingkungan Gereja Katolik. Ekskomunikasi ya ekskomunikasi saja, tak berarti membuat orang dipenjara entah di Nusakambangan, di Carcere Mamertino, atau di Pelican Bay State Prison)
Kalau memang umat beriman tertarik jadi polisi dalam ranah Gereja Katolik, ada baiknya ia masuk dalam biro intelijen: peka terhadap gerakan-gerakan yang menjerumuskan Gereja pada semangat formalisme dan legalisme. Semangat ini bisa membuat iman jadi mekanis, kaku, atau beku. Kalau begitu, bukan lagi iman namanya, melainkan kompulsi.
HARI MINGGU BIASA XI B/1
14 Juni 2015
Yeh 17,22-24
2Kor 5,6-10
Mrk 4,26-34
Categories: Daily Reflection