Penghakiman terakhir adalah kompetensi Allah, bukan kompetensi manusia. Maka, kemarin disodorkan larangan untuk menghakimi. Orang pada umumnya punya standar atau kriteria relatif dan itu artinya cenderung subjektif: penghakiman terhadap orang lain malah jadi penghakiman untuk diri sendiri. Bayangkanlah dua orang beradu mulut dan setelah sekian lama akhirnya salah satu berkata,”Kamu ini maunya menang sendiri!” Silakan dilihat baik-baik, siapa yang de facto sebenarnya mau menang sendiri.
Jika umat beriman memelihara sikap menghakimi orang lain, ia justru mengeksklusi dirinya dari pengampunan Allah. Sebaliknya, jika ia murni hati, bebas dari sikap menghakimi sesama, ia malah bisa ‘menilai’ sesamanya sebagaimana Allah memandang umat-Nya: ia mencintai sesamanya. Pada kenyataannya, itu tidaklah mudah; orang perlu bantuan rahmat Tuhan. Maka, secara praktis, menghakimi orang lain sebenarnya jadi sikap yang kurang kondusif bagi perkembangan iman seseorang.
Alih-alih menghakimi, Yesus berpesan: Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing dan jangan kamu melemparkan mutiaramu kepada babi, supaya jangan diinjak-injaknya dengan kakinya, lalu ia berbalik mengoyak kamu. Barang kudus itu maksudnya makanan yang dipakai untuk korban bakaran (bdk. Im 22,14 atau Kej 29,33 misalnya). Kenapa dilarang memberikan makanan korban itu kepada anjing? Karena anjing saat itu dipandang begitu liar dan kalau tak hati-hati (dan rupanya seringkali orang tak hati-hati), anjing itu malah menyerang yang memberi makan.
Itulah gaya bahasa semitik dalam menyampaikan pesan: jangan mempermainkan ‘benda-benda suci’ untuk hal-hal profan, alias hati-hatilah dalam memperlakukan sesuatu karena masing-masing hal itu punya maksud dan tujuan. Sikap hati-hati ini dilawankan dengan ungkapan memberi mutiara berharga kepada babi, binatang yang dianggap haram dan biang dari segala kemuakan atau kejijikan. Tindakan memberi makan anjing dengan makanan korban serta memberikan mutiara kepada binatang haram itu adalah ceroboh. Bukan hanya ceroboh, bahkan juga bisa jahat karena menyelewengkan sesuatu dari tujuannya.
Tujuan yang disodorkan Yesus adalah kehidupan, tetapi jalannya sempit. Salah satu jalan yang menuntun pada kehidupan itu ialah golden rule: Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. (Mat 7:12) Ini aturan universal, tidak spesifik ajaran Yesus. Lha, gimana kalau orang terus-terusan menjalankan golden rule itu dan kenyataan yang dialaminya adalah ‘air susu dibalas air tuba’? Wong berbuat baik kok malah terus dijahatin. Di situlah relevansi ajaran Yesus: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu (Mat 5,44). Ini adalah jalan sempit yang ditunjukkan Yesus: hidup memang penuh dengan kesusahan, kemalangan, penderitaan, kejahatan. Sempit berarti teruji oleh penderitaan demi iman kepada Allah. Yang tak teruji, jalannya jauh lebih lebar, tetapi mengarah kepada kebinasaan.
Kalau ada orang yang memang memilih jalan kebinasaan bagaimana? Saya teringat ungkapan yang dikutip Tony de Mello: jangan membangunkan babi yang sedang tidur!
Betul juga ya, kebaikan yang dipaksakan itu malah kontradiktif.
Tuhan, berilah aku keluasan hati supaya dapat dengan bebas menaburkan sabda-Mu tanpa terbebani aneka ideologi atau kepentingan diriku.
SELASA BIASA XII B/1
23 Juni 2015
Categories: Daily Reflection