Kangen Matahari

Kabut asap di Kalimantan yang menjadi bencana saat ini sungguh memprihatinkan. Gambar kartun bisa saja melukiskannya sebagai pembakaran sampah yang asapnya mengganggu tetangga, tetapi tak mungkin tetangga itu hanya diberi atribut warga kampung tertentu: ini adalah gangguan terhadap warga beberapa negara, yaitu Malaysia dan Singapura. Saya tak bisa membayangkan kondisinya selain dengan membandingkannya ketika kota tempat tinggal saya disambangi abu vulkanik Gunung Kelud yang membahayakan kesehatan. Jarak pandang yang hanya beberapa meter itu kiranya membahayakan lalu lintas juga.

Suasana suram itu saya alami hanya satu hari, atau beberapa jam tepatnya. Tak terbayangkan jika suasana itu berlangsung selama berhari-hari atau bahkan berbulan-bulan. Satu hal yang pasti saya kangeni adalah matahari. Tak enak hidup berlama-lama tanpa matahari, benar-benar gloomy. Tak mengherankan bahwa dalam kultur tertentu, kekuatan matahari dipersonifikasi sebagai dewa dan sayangnya, penganut agama-agama ‘besar’ risih dengan itu karena dalih monoteisme. Padahal, mereka yang memercayai ‘dewa matahari’ itu juga sebenarnya menyuarakan jeritan batin yang autentik: pengakuan bahwa ada kekuatan instansi yang sedemikian signifikan untuk hidup manusia sehingga tanpa instansi itu, hidup manusia tak dimungkinkan.

Benarlah atribut yang disodorkan Yesus kepada orang-orang beragama: munafik! Rupa bumi dan langit kita tahu menilainya, tetapi kita tak bisa menilai zaman ini, tak bisa juga memutuskan sendiri apa yang benar (Luk 12,56-57). Maksudnya apa sih tuduhan itu?
Yesus yakin bahwa manusia diberi inteligensi tertentu untuk menangkap tanda-tanda fisik, baik dengan pengamatan sederhana maupun lewat studi njelimet soal klimatologi, misalnya. Orang Yahudi tahu bahwa awan dari arah Laut Tengah akan mendatangkan hujan, sedangkan dari selatan akan membawa hawa panas. Akan tetapi, mereka mengeliminasi kebijaksanaan elementer yang melandasi gejala fisik yang mereka amati itu: bahwa ada kekuatan signifikan yang melampaui tanda-tanda fisik yang mereka amati, yaitu kekuatan Allah yang memungkinkan kejadian-kejadian fisik itu, yang memberi kehidupan bagi manusia.

Eliminasi kebijaksanaan elementer itulah yang mereduksi aneka pengetahuan (sains, teknologi, ekonomi, politik, olah raga, dan lain sebagainya) manusia sebagai kebodohan. Mengeliminasi Allah dari hidup ini adalah kebodohan yang justru mencederai inteligensi manusia sendiri. Mengeliminasi matahari dengan kabut asap saja sudah jadi bencana, apalagi melenyapkan Allah. Kabut asap adalah contoh bagaimana orang membangun kultur kematian dengan membela kepentingan bisnis tertentu. Bisa jadi paralel dengan itu adalah aneka eksploitasi kekayaan alam yang tak terbarui. Dalihnya pasti baik, tetapi baru ketahuan jika dampak negatifnya sudah tiba. Itu artinya sudah terlambat. Dasar bodoh!

Semoga kita, khususnya yang punya peran strategis, tidak mereduksi inteligensi kita dengan aneka kepentingan  yang mengeliminasi kehadiran Allah yang memberi kehidupan.  Amin.


HARI JUMAT BIASA XXIX B/1
23 Oktober 2015

Rm 7,8-25a
Luk 12,54-59

Posting Tahun Lalu: Satu Iman Banyak Agama

2 replies