Let It Go

Awas, peringatan: perbuatan ini membahayakan keselamatan. Jangan ditiru! Saya sendiri sebagai pelakunya tak ingin mengulanginya. Pernah saya mengendarai motor dari Semarang ke Jogja siang hari dalam keadaan agak lelah karena perjalanan sebelumnya. Pada titik selepas Muntilan ada jalan yang begitu lurus dan lebar, dan kecepatan yang saya pacu cukup stabil, kira-kira 80km/jam. Saking lurus dan lengangnya jalan saat itu, rasa kantuk tak tertahankan tetapi saya tidak menghentikan motor untuk beristirahat sejenak.

Tiba-tiba saya tersadar sudah tiba di ruas jalan yang di sebelah kanannya ada perbukitan makam Tionghoa. Ingatan terakhir saya adalah titik selepas jembatan Gulon, dan saya tak ingat apakah saya melewati lampu merah atau lampu hijau di pertigaan setelah jembatan Gulon itu. Artinya, mungkin memang traffic light padam, atau saya merem atau bengong sejauh itu. Tapi pokoknya setelah tersadar pada titik itu, saya kaget setengah mati bagaimana saya memegang stang motor dengan kecepatan cukup tinggi di jalan lengang seperti itu dan bebas hambatan. Bagaimana jika ada kendaraan atau orang menyeberang? 

Pasti itu tak bisa dipakai sebagai perumpamaan mengenai Kerajaan Allah, tetapi ada juga titik temunya: prosesnya yang lesap tak tersadari dalam dimensi ruang dan waktu. Hari ini Yesus memakai dua analogi sederhana mengenai Kerajaan Allah: biji sesawi dan ragi. Analogi dengan biji sesawi lebih menunjukkan perkembangan Kerajaan Allah dalam dimensi waktu: awalnya begitu kecil sehingga tampak tidak signifikan, tetapi akhirnya begitu ekspansif. Analogi dengan ragi lebih menunjukkan kinerja Kerajaan Allah dalam dimensi ruang: awalnya sedikit sekali (dibandingkan dengan sekitar 21 kg tepung yang cukup untuk makan seratusan orang), tetapi akhirnya merasuki seluruh adonan.

Analogi itu bisa diterapkan dalam hidup Yesus sendiri sebagai pewarta Kerajaan Allah. Tiga puluh tahun ia ‘bersembunyi’, dan ia mengawali tugasnya dengan menarik diri ke padang gurun, lalu ia punya pengikut dan mulai berkeliling ke sana kemari sampai akhirnya mati dan peristiwa kontroversial tentang kebangkitannya malah akhirnya merintis penyebaran iman yang akhirnya mendunia. Tentu saja, Kerajaan Allah itu tak bisa direduksi sebagai suatu Gereja (kecuali Gereja didefinisikan secara sangat inklusif) atau agama kristiani. Sebaliknya, Gereja ialah salah satu manifestasi dari Kerajaan Allah yang diwartakan Yesus itu.

Kekeliruan besar umat yang mengklaim diri beriman terletak pada eliminasi proses yang ditempuh Kerajaan Allah dalam dimensi ruang dan waktu, seolah Kerajaan Allah adalah status hidup tertentu. Seperti orang nyinyir menginginkan perubahan peta politik global dalam tempo tiga hari, begitu pula orang krisis iman yang jadi begitu naif mengidealkan Allah yang mesti membasmi kejahatan dengan aneka bencana alam atau apa saja yang bisa memusnahkan orang jahat. Orang tak punya kesabaran untuk membiarkan Kerajaan Allah berpacu dengan ritme biji sesawi dan ragi tadi, seolah lupa bahwa, misalnya, perbudakan manusia terhapuskan setelah sekian ratus tahun berlangsung. Kok begitu lama ya?

Yesus tak tergoda untuk buru-buru. Ia senantiasa hidup dalam kesatuan dengan Roh Kudus, yang tahu bagaimana bisa merasuk dalam hati manusia, yang lebih keras dari tengkorak atau batu dan perubahannya memerlukan ruang waktu yang diperlukan. Lha, repotnya, manusia cenderung menentukan waktunya sendiri-sendiri, menentukan ‘hidayah’: yang satu bilang masih butuh waktu (sementara tak berusaha bertobat), dan yang lain memaksa harus begini begitu (sementara tak sadar bahwa ia ‘cuma’ bertugas menaburkan kebaikan).

Tuhan, mohon kekuatan dan kesabaran untuk sungguh berproses dalam menaburkan benih kebaikan-Mu sembari mengatakan ‘let it be’ atau ‘let it go’. Amin.


HARI SELASA BIASA XXX B/1
27 Oktober 2015

Rm 8,18-25
Luk 13,18-21