Sumpah Pelupa!

Saya jamin Anda tak menemukan isi Sumpah Pelupa dalam pelajaran sejarah. Sampai saat ini pelajaran sejarah hanya memberi info mengenai Sumpah Palapa dan Sumpah Pemuda. Itu juga belum tentu komplet. Pokoknya ada Gajah Mada dan 28 Oktober! Keduanya menyiratkan tekad penyatuan Nusantara; yang pertama merujuk tekad individu bernama Gajah Mada, yang kedua merujuk tekad kolektif para pemuda untuk mengupayakan kesatuan bahasa, bangsa, dan tanah air. Njuk Sumpah Pelupa ini apa toh?! Gawe-gawe aja!

Kiranya lebih heroik jika Sumpah Pelupa ini dihubungkan dengan gerakan Menolak Lupa atas aneka macam tragedi di Nusantara yang terkesan ditutup-tutupi.  Tetapi, blog ini memang tak pernah dimaksudkan untuk menulis yang heroik-heroik. Sederhana saja maksudnya: ada bacaan harian dari kalender liturgi dan dituliskanlah satu dua insight yang diterima penulisnya dari situ. Nah, dari bacaan hari ini justru muncul ide Sumpah Pelupa, tekad untuk jadi pelupa, yang sekilas tampak bertentangan dengan gerakan Menolak Lupa tadi. Bisa jadi bertentangan, bisa juga tidak, bergantung membandingkannya bagaimana.

Gerakan Menolak Lupa kiranya punya prioritas untuk membongkar upaya sistematis untuk menutupi segala bentuk ketidakadilan yang mengorbankan orang-orang tak bersalah demi kepentingan kekuasaan. Gerakan ini penting utuk mencegah pelanggengan sistem sosial yang menindas, yang korup. Akan tetapi, pada level tindakan konkret, mereka yang hendak Menolak Lupa itu juga mesti ‘melupakan’ (meskipun tidak secara aktif; rada janggal juga kalau orang bisa melupakan sesuatu; yang terjadi bukan melupakan, melainkan lupa) hal-hal lain yang tidak jadi fokus perhatiannya. Itu wajar saja, lantaran orang memang punya keterbatasan memori.

Jemaat kristiani awal mengingat, mencatat nama dua belas rasul yang dipilih Yesus, tetapi jelas ingatan dan catatan itu selektif; tidak semua-muanya tentang para rasul itu diingat dan dicatat. Yang paling banyak diingat dan dicatat tampaknya si Petrus, pribadi yang baik hati dan penuh antusiasme (Mrk 14,29.31; Mat 14,28-29), tetapi pada saat kritis bisa kecil hati dan setback (Mat 14,30; Mrk 14,66-72); sempat dihardik sebagai iblis (Mrk 8,33), tapi toh sungguh disokong oleh Yesus dengan doanya (Luk 22,31-32). Tentu ada beberapa catatan mengenai murid-murid lain, tetapi tentang dua rasul yang dipestakan oleh Gereja Katolik hari ini, Simon Zelot dan Yudas Tadeus, minim sekali catatannya, seakan-akan yang diingat cuma nama mereka.

Syukurlah. Soalnya, kalau diingat-ingat setiap detil kepribadian para rasul itu, mana ada yang pantas jadi murid Yesus dengan kategori kepribadian yang baik-baik saja? Mereka yang dipilih Yesus sama sekali bukan pribadi sempurna, bahkan dalam arti tertentu bodoh, berkepala batu, temperamental, labil, dan sebagainya. Akan tetapi, mengapa juga orang mesti berpatokan pada tes kepribadian untuk mengikuti Yesus? Yang dibutuhkan Yesus bukan orang brilian, hebat, dan sempurna. Yang dibutuhkannya ialah orang yang berani ‘melupakan’ segala cacat celanya sebagai hambatan untuk mengikutinya.

Lupakan aneka macam sisi gelap hidupmu! Tidak persis melupakan sih. Caranya dengan berganti fokus. Sisi gelap tak perlu jadi foreground, biarlah tetap jadi background. Bagaimana? Berfokus pada jawaban pertanyaan “apa yang bisa kubuat saat ini dan di sini untuk mewartakan pesan Kerajaan Allah bagi dunia?”
Begitulah Sumpah Pelupa: sumpah, aku tahu bahwa aku tak sempurna, tapi aku mau mengikuti-Mu. Amin.


PESTA S. SIMON DAN YUDAS
(Rabu Biasa XXX B/1)
28 Oktober 2015

Ef 2,19-22
Luk 6,12-19

Posting Tahun Lalu: Siapa yang Dipilih? Gombal!