Teks yang disodorkan hari ini ialah dua bagian pertama dari salah satu trilogi yang ditulis Markus: (1) kewaspadaan terhadap kemunafikan Ahli Taurat, (2) janda miskin yang memberikan seluruh peser yang dimilikinya, dan (3) nubuat kehancuran Bait Allah. Trilogi itu seolah-olah hendak mengatakan bahwa kemunafikan yang tak terkoreksi oleh sikap seperti janda miskin itu mengarahkan hidup manusia pada kehancuran. Pokok penting trilogi ini terletak pada bagian kedua sehingga ada baiknya fokus diletakkan pada bagian itu.
Kotak persembahan mengacu pada suatu wadah, tempat meletakkan sumbangan sukarela yang didedikasikan juga untuk membantu para janda yang pada masa itu merupakan kelompok terlemah dalam masyarakat Yahudi. Kotak persembahan ini barangkali diprakarsai oleh semacam kelompok arisan ibu-ibu begitu. Nah, di situlah terlihat banyak orang kaya menunjukkan ‘kekayaan’ mereka dengan memasukkan sumbangan sukarela yang jumlahnya besar dan kemudian nongol seorang janda miskin yang memasukkan dua lepta, koin uang dengan nilai terendah yang beredar di Palestina saat itu. Katanya, itu sepadan dengan 1/128 dinar atau kira-kira 6 menit gaji dari upah kerja harian. Entah berapapun itu, pokoknya praktis tak bernilai.
Akan tetapi, di mata Allah, persembahan yang tak bernilai mendapat makna karena ketulusan dan totalitas yang menyertai tindak pemberiannya. Ini adalah permainan kontras yang begitu kentara jika dibandingkan dengan teks sebelumnya (Mrk 11,27-12,40): perempuan vs pemimpin agama, janda miskin vs orang kaya, tak terdidik vs berpendidikan hukum, perempuan vs laki-laki. Semua kontras itu dimenangkan oleh lawan si janda ini. Akan tetapi, ada satu hal penting rupanya yang disoroti Yesus yang tak ditemukan dalam diri lawan si janda: iman yang besar dan pemberian segala yang dimilikinya, pemberian tulus dari nothingness, dari nobody.
Menunggu memberikan diri setelah merasa diri somebody biasanya malah menjerumuskan orang bukan pada kebaikan, melainkan vanity, dan jika itu menjadi pola hidup seseorang, ia menciptakan budaya kematian. Ia berusaha memperpanjang usia hidupnya, tetapi tak menghidupkan usia panjang (atau pendek)nya.
Pesan Injil kiranya menyodorkan suatu hukum progresif yang bisa dimengerti dari perspektif janda miskin ini juga. Tanpa mengindahkan hukum yang tertera pada hati ini, orang tak mengalami kebahagiaan yang sesungguhnya:
- Pilihlah kultur kehidupan, bukan kematian.
- Pilihlah dirimu apa adanya: terima sejarah hidupmu, masa lalumu, masa kanak-kanakmu, bagian dari kenyataan hidupmu.
- Pilihlah untuk menjadi dirimu sendiri: bukan jadi bapak ibumu, atau tetangga, atau orang lain yang kamu sukai. Aneka pekerjaanmu merupakan bagian untuk mengarahkanmu menjadi dirimu sendiri (begitu pulalah Tuhan menciptakanmu).
- Pilihlah cinta, biarkan ia hidup. Cinta Allah hidup dalam dirimu: galilah itu, alami dan pakailah itu untuk diri sendiri dan sesama (dengan ketulusan, kemurahan hati, bela rasa).
- Pilihlah untuk memberikan diri. Hidup itu perlu dibagikan, diberikan: kepada Allah, melalui dunia, melalui sesama. Dengan begitulah hidupmu berguna dan bermakna kuat.
Wahaha, tumben-tumbenan menuliskan nasihat, Romo. Lah, itu bukan nasihat, melainkan mandat dari hukum progresif yang tertera dalam hati orang kok. Ya apapun itu, Ya Tuhan, semoga aku semakin Kauberanikan untuk memberikan diriku, segala keterbatasanku, segala kepunyaanku, untuk sebesar-besarnya kemuliaan nama-Mu. Amin.
HARI MINGGU BIASA XXXII B/1
8 November 2015
1Raj 17,10-16
Ibr 9,24-28
Mrk 12,38-44
Categories: Daily Reflection