Anak-anak biasanya senang sekali dengan seragam, apalagi dengan aneka macam asesoris atribut mentereng. Seragam militer memberi rasa diri gagah. Entah seragam imam atau suster memberi rasa diri apa. Saya tak pernah mencobanya saat masih anak, dan saat hendak memakai jubah pertama kali setelah lulus SMA malah takut-takut gimanaaaa gitu.
Hari-hari ini, syukur kepada Allah, kita bisa menyaksikan persidangan Mahkamah daripada Kehormatan Dewan, yang tugasnya memang mempertaruhkan kehormatan dewan. Tinggal kita nantikan apakah kehormatan dewan itu terletak pada toga anggota mahkamah dan sumpah di bawah Kitab Suci atau juga pada jiwa mereka yang terhormat.
Teks Injil hari ini menyodorkan tugas misioner setiap pengikut Kristus untuk pergi ke seluruh dunia, memberitakan Injil kepada segala makhluk. Mandat itu tentu diberikan dalam konteks yang tingkat pluralitasnya sederhana: dunia kafir dan nonkafir. Jika mandat itu dibaca secara letterleijk, pastilah muncul konflik yang complicated karena pluralitas religius sekarang jelas lebih kompleks: dalam dunia nonkafir masih bisa dibedakan aneka macam agama dan aliran ataupun sekte. Wajarlah jika, misalnya, sekelompok orang tertentu tersinggung dan membenci kelompok yang secara gencar mengejar target membaptis orang yang sudah memeluk agama tertentu, seolah-olah baptisan formal lebih penting daripada warta Injilnya sendiri.
Tulisan Paulus dalam bacaan pertama tidak menyinggung baptisan, melainkan warta Injil yang mutlak disampaikan tanpa syarat. Maklum, bagi Paulus, warta Injil itu memang sudah terintegrasi dengan hidupnya (bdk. Gal 2,20). Hidupnya sendiri (bukan kata-katanya semata, bukan cuma kotbahnya, bukan hanya status facebooknya) adalah pewartaan Injil. Tak mengherankan bahwa dia menjawab pertanyaan pragmatis dan utilitaris (Ngapain sih repot-repot mewartakan kabar gembira, wong tinggal hidup ongkang-ongkang menikmati jerih payah masa muda jelas lebih menyenangkan? Dapet apaan sih ribet ngurusin orang-orang terlantar?): Upahku ialah bahwa aku boleh memberitakan Injil tanpa upah, dan bahwa aku tidak mempergunakan hakku sebagai pemberita Injil.
Paulus tidak meminta privilese karena statusnya. Ia menjalani hidup biasa dan kebahagiaannya menjalani hidup biasa tanpa pamrih itulah yang diterimanya sebagai upah. Fransiskus Xaverius yang dipestakan Gereja Katolik hari ini kiranya juga memberi kesaksian yang sama: hidup tanpa pamrih, bahkan dengan risiko kematian (tanpa jaminan kepastian surgawi), adalah jauh lebih terhormat dan membahagiakan daripada sibuk dengan hitung-hitungan untung rugi.
Allah yang mahamurah, ajarilah aku berhati luhur sebagaimana pantas bagi-Mu; memberi tanpa pamrih, berjuang tanpa mengeluh kesakitan, bekerja tanpa mengharapkan upah. Amin.
PESTA S. FRANSISKUS XAVERIUS (SJ)
(Kamis Adven I C/2)
3 Desember 2015
1Kor 9,16-19.22-23
Mrk 16,15-20
Posting Tahun Lalu: Tanpa Passion Jadi Pasien Doang
Categories: Daily Reflection