Dosa mendapat hukuman, kebajikan mendapat ganjaran berkat, dan semua terjadi di dunia sini. Begitulah keyakinan orang jadul. Kusta: simbol dosa menjijikkan, bahkan orang kehilangan sensibilitas moralnya selain sensibilitas fisiknya sendiri. Mereka termarjinalkan, dijauhi masyarakat. Lebih mengerikan lagi, mereka divonis sebagai orang yang ditolak Allah. Kisah sepuluh orang kusta hari ini menjadi skandal buat saya untuk memahami konsep kekafiran. Bagaimana mungkin orang kafir bisa datang berterima kasih dari kedalaman hatinya (dan bukan demi political correctness)?
Ya mungkin saja: itu kan kisah yang cuma ada di buku Lukas. Sangat besar kemungkinannya bahwa kisah itu adalah cara Lukas untuk menyodorkan poin penting dalam memahami keselamatan, dan tak perlu menganggap peristiwanya sendiri secara historis memang persis begitu.
Kebanyakan pembaca sekarang barangkali akan langsung mempertanyakan soal jumlah. Yang disembuhkan sepuluh, kok yang kembali datang berterima kasih cuma sebiji. Yang sembilan itu tak tahu terima kasih ya! Dan dari situ lalu orang bisa menyodorkan pesan moral (yang menggelikan, kalau tidak memuakkan): jadi orang itu mbok ya tahu berterima kasih. Tentu itu pesan baik, tetapi untuk memberi pesan seperti itu, sebaiknya tidak memberikannya dengan memperkosa teks Kitab Suci! Ya memang sih ini tak separah kasus perkosaan teks yang menimpa gubernur DKI, tapi tetap sama-sama perkosaan teks. Teksnya ke mana, yang baca ke mana.
Mari lihat apa yang dipersoalkan Yesus: Bukankah kesepuluh orang tadi semuanya telah menjadi tahir? Di manakah yang sembilan orang itu? Tidak adakah di antara mereka yang kembali untuk memuliakan Allah selain dari pada orang asing ini?
Ia tidak mempersoalkan kok cuma satu yang datang kembali! Ia mempertanyakan gimana sembilan orang Galilea yang sudah lebih ‘siap’ daripada orang Samaria ini. Kenapa justru orang Samaria yang datang memuliakan Allah? Artinya, ini sama sekali bukan soal Yesus ingin mendengar ungkapan terima kasih kepadanya atau dia mangkel karena yang sembilan tidak kembali!
Angka sepuluh mengacu pada totalitas. Semua diselamatkan dalam kebersamaan. Poin pentingnya: dalam kebersamaan. Ini menggugat paham bahwa (kelak) setiap orang mesti mempertanggungjawabkan amal baiknya sendiri di hadapan Allah. Tidak! Ia mempertanggungjawabkan amal baiknya dalam kebersamaan umat-Nya. Yang mengherankan Yesus, kenapa orang-orang Galilea yang akrab dengan nubuat para nabi dan Taurat tak menangkap kemuliaan Tuhan dalam hidup mereka, kenapa justru orang Samaria ini yang tak disiapkan oleh Hukum Taurat yang menangkap poin itu. Bagi saya, ini skandal; bagaimana orang ateis bisa memuliakan Allah?
Ya gimana ya, kalau Tuhan intervensi, begitu itu jadinya; diskriminasi kafir tak kafir, ateis tak ateis, jadi tidak relevan.
Ya Allah, semoga kami semakin peka terhadap kemuliaan-Mu dalam hidup kami. Amin.
MINGGU BIASA XXVIII C/2
9 Oktober 2016
2Raj 5,14-17
2Tim 2,8-13
Luk 17,11-19
Categories: Daily Reflection