Ada gak sih orang married dan ke mana-mana selalu bawa-bawa ibu atau bapaknya? Ini bukan sindiran untuk keluarga baru yang tinggal di Pondok Mertua Indah loh, melainkan soal orang yang belum bisa mengubah point of reference dari keluarga lama ke keluarga baru, dari hidup lama ke hidup baru. Barangkali itu juga yang terjadi ketika bangsa Israel mulai mengenal Allah nan pencemburu di tengah-tengah bangsa lain yang menyembah aneka macam ilah. Allah ini tak mau diduakan, sampai sekarang, entah oleh kesuksesan, kekayaan, jabatan, dan sebagainya. Orang mesti fokus pada pribadi Allah yang menuntun hidup manusia bahkan meskipun tampaknya gak jelas ke depannya akan bagaimana. Dalam terminologi Kristiani: orang mesti memanggul salibnya.
Nah, di sini ada problem klasik yang tak sedikit orang, bahkan kelompok religius, agak-agak gimana gitu menafsirkannya: romantis-romantis naif. Ketika orang menghadapi kesulitan, kecelakaan, sakit, penderitaan, ia menyatukan deritanya itu dengan penderitaan Kristus. Gak jelas kan maksudnya apa ‘menyatukan penderitaannya dengan penderitaan Kristus’? Piye jal, bikin okulasi atau hibrid gitu?
Ada usulan yang bisa diterima: mengganti salib dengan cinta, atau sebaliknya, dan di situ ada makna ‘memanggul salib’. Letak salib atau cinta itu tidak lagi pada segi penderitaannya (seolah-olah semakin menderita berarti semakin beriman atau semakin mengikuti Kristus, misalnya), melainkan pada pilihan sadar orang untuk mengambil point of reference yang tepat, yaitu Allah nan pencemburu tadi. Tak perlu ribut dengan debat paham Allah yang anthropomorfis ini karena poinnya ialah orang beriman cuma punya satu acuan, yaitu Allah sendiri, bukan yang lain-lainnya.
Tak mengherankan, Yesus juga mengatakan bahwa mereka yang mengasihi bapak simboknya lebih daripada Allah, tak pantas bagi proyek mengikuti Kristus. Bapak simbok bisa diganti dengan berhala-berhala lain: tetangga, artis, jabatan politik, pemuka agama, tokoh radikal, dan sebagainya. Pada kenyataannya, inilah yang membuat hidup amburadul: orang nyinyir dengan relasi horisontal dan kehilangan referensi pada relasi autentik dengan Allahnya.
Orang bekerja di pemerintahan bukan lagi dengan paradigma membangun kerajaan Allah, melainkan kerajaan agama, kerajaan keluarga, bisnis, atau partai. Orang married bukan dengan intensi meneruskan alur cinta ilahi, melainkan membuntuti tradisi berahi atau kendaraan politik. Orang beragama bukan lagi untuk meniti hidup menuju Allah yang satu, melainkan untuk ekshibisi dalam kompetisi agama. Ironisnya, orang begini justru menggali kubur bagi agama yang dihidupinya sendiri. Identik dengan itu, bahkan relasi dengan Allah sendiri tak pernah dimaksudkan demi relasinya sendiri: Eh gue dong bisa langsung komunikasi dengan Tuhan; saya dong ziarah ke sana-sini; dan sejenisnya. Orang-orang begini merasa diri layak tetapi seperti dikatakan dalam bacaan hari ini: tak layak.
Tuhan, mohon rahmat supaya kami sadar memilih cinta salib-Mu dalam setiap langkah hidup kami.
HARI MINGGU BIASA XIII A/1
2 Juli 2017
2Raj 4,8-11.14-16a
Rm 6,3-4.8-11
Mat 10,37-42
Categories: Daily Reflection