Tollite iugum meum super vos et discite a me quia mitis sum et humilis corde et invenietis requiem animabus vestris, iugum enim meum suave est et onus meum leve est. Oalah bahasa apaan tuh? Sewaktu saya taruh di Google Translate keluarnya begini: Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah dari saya karena Aku lemah lembut dan rendah hati, dan Anda akan menemukan istirahat, untuk kuk yang Kupasang itu manis dan ringan beban saya. Begitulah terjemahan mesin dan takkan saya koreksi di sini wong minggu ini sudah kebanyakan tugas koreksi dan besok mesti dikumpulkan, padahal besok sejak pagi sampai malam ada pertemuan di luar kota, hiksss… Tapi don’t worry cup cup cup, kalau Tuhan menghendakinya, pasti selesai hari atau malam ini kok, hahaha… (Siape lu?!)
Mari bermain dengan kata iugum (baca saja yugum), kuk, yaitu bilah atau tonggak papan yang dipasang untuk mengikat dua binatang sehingga keduanya bisa menarik objek yang dihubungkan pada tonggak itu. Menariknya, kalau pada kata iugum itu ditambahkan kata con (baca: kon) dan jadi coniugum, Google Translate mengeluarkan kata ‘pasangan’ dan itu tepat sekali, Saudara-saudara! Coniugum memang berarti pasangan, entah ganda putra, ganda putri atau ganda campuran; entah suami-istri, pacar-pacir, muda-mudi, atau teman-temin; ya teman-teman atau temin-temin bolehlah. Pokoknya, ide kuk yang disodorkan di sini adalah pengikat supaya pasangan itu bisa melakukan satu tugas atau pekerjaan atau sasaran bersama-sama.
Pada kenyataannya, setiap orang punya macam-macam kuk; entah itu dari keluarga, tempat kerja, lingkungan RT, teman lama, lawan politik, pemerintah, dan sebagainya. Ada satu kuk lagi yang dari zaman jebot sampai sekarang ini bikin sebah dan jengah: kuk AGAMA yang dipakai untuk menista sana sini. Persis itulah yang disinggung penulis bacaan ketiga hari ini. Ini adalah teks yang ditujukan kepada orang-orang Yahudi yang sudah sedemikian akrab dengan tetek bengek hukum agama sampai sekecil-kecilnya. Kata yang sama (kuk) dipakai Petrus saat Konsili Yerusalem pertama: Mengapa kamu mau mencobai Allah dengan meletakkan pada tengkuk murid-murid itu suatu kuk, yang tidak dapat dipikul, baik oleh nenek moyang kita maupun oleh kita sendiri?
Konteksnya ialah perdebatan apakah orang-orang non-Yahudi yang mau jadi Kristiani itu mesti disunat seperti orang Yahudi atau tidak. Sebagian dari mereka yang Yahudi ngotot bahwa untuk jadi Kristiani siapapun musti disunat! Lha rak ya kebablasen toh? Sunat itu kultur Yahudi kok mau dijadikan kuk untuk mereka yang bukan dari kultur Yahudi. Lu mau jadi orang Yahudi atau mau jadi Kristiani sih? Syukurlah, Petrus menjalankan fungsi kepemimpinannya. Ia percaya bahwa Roh Allah melampaui sekat kultur. Roh yang dicurahkan kepada mereka, juga dicurahkan Allah kepada bangsa-bangsa lain.
Keterbukaan pada Roh Allah itulah yang dilekatkan pada orang kecil. Yesus bersyukur karena misteri Allah dinyatakan bukan kepada orang yang bijak dan pandai; ini adalah label bagi mereka yang sudah merasa penuh dengan Roh Allah dalam penghayatan agamanya sendiri. Sedangkan orang kecil adalah mereka yang mengambil kuk dari Yesus tadi: tidak ribut karena bebannya sendiri, tetapi bersama mencari kehendak Allah bagi kepentingan luas. Apa bukannya malah repot ya? Mungkin, tetapi jelas melegakan, meringankan, dan membahagiakan.
HARI MINGGU BIASA XIV A/1
9 Juli 2017
Za 9,9-10
Rm 8,9.11-13
Mat 11,25-30
Categories: Daily Reflection