Saya baru ngêh bahwa telinga bagian dalam itu, selain sebagai indra pendengaran, punya fungsi penjaga keseimbangan tubuh. Dengan cocoklogi, bisa dimengerti jawaban Guru dari Nazareth atas pertanyaan ahli Taurat soal hukum yang terutama. Dia sodorkan ada dua hukum, yaitu cinta kepada Allah dan cinta kepada sesama, tetapi keduanya saling mengandaikan dan karenanya mesti butuh keseimbangan. Nah, mengingat penjaga keseimbangan tubuh itu ada di telinga, tak heranlah sebelum menyebutkan dua hukum itu Guru dari Nazareth mengatakan,”Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita itu satu.” Nah, cocok, bukan? Begitulah cocoklogi.
Meskipun demikian, perhatian saya tidak terletak pada cocokloginya, tetapi pada pesan sponsor sila pertama dari Pancasila itu. Jauh hari atau abad sebelum NKRI terbentuk, bangsa Israel sudah meyakini monoteisme. Persoalannya, kebanyakan orang cuma bisa berpikir secara kuantitatif jika berhadapan dengan kata (sifat) bilangan: satu, tunggal, esa.
Loh, kon iki piyé, yang namanya satu, esa, tunggal itu ya (sifat yang) berhubungan dengan kuantitas toh? Satu itu bukan dua, bukan dwi, bukan tri, dan seterusnya. Betul, tetapi apakah itu harus berarti pemahaman lain salah?
Loh, ya jelas Mo, kalau “satu bukanlah dua” itu benar, berarti “satu adalah dua” itu salah. Paham gak sih Romo tuh?
Iya paham, tapi itu kan cuma salah satu cara berpikir atau satu dimensi doang. Kalau cuma satu dimensi yang dipakai, bisa jadi kita bingung melihat rak di bawah ini ada tiga atau empat:
Halah Mo itu kan ilusi optik. Untuk membuktikan itu ada tiga atau empat rak ya tinggal didekati aja, kelihatan mana aslinya dan jelaslah itu tiga rak atau empat rak, tidak bisa kedua-duanya benar.
Wooo, begitu toh? Tapi bukankah tindak ‘mendekati’ tadi berarti mengubah sudut pandang, melampaui penglihatan dua dimensi jadi tiga dimensi? Trus, bukankah dengan begitu malah bisa jadi baik tiga maupun empat rak tadi ternyata keliru (karena jebulnya cuma ada dua rak)? Padahal, itu baru soal ilusi optik, gimana orang mau bahas Ketuhanan Yang Maha Esa dan ribut dengan angka?
Saya bersyukur pernah masuk kelas filsafat dan diperkenalkan istilah arché yang bisa diterjemahkan sebagai suatu prinsip dasar realitas dan bolehlah Allah itu diidentikkan dengan prinsip dasar realitas itu. Maksud saya, Allah inilah yang jadi awal dan akhir seluruh ciptaan-Nya sendiri. Di dalamnya bisa jadi ada begitu banyak perbedaan bahkan kontradiksi tetapi semuanya digenggam dalam keesaan atau kesatuan prinsip itu. Jadi, entah orang memberi 99 atribut atau merumuskan trimurti atau tritunggal atau bahkan tak memberikan rumusan sama sekali, no problem.
Saya ingat slogan one heart pabrikan motor (meskipun saya ‘semakin di depan’ tetangga saya yang diminta ‘nyalakan nyali’) yang ternyata menempel pada produk motor yang bermacam-macam: manual, matik, olah raga, telanjang, dll. Barangkali dari one heart itu orang beriman bisa belajar untuk menunjukkan kebesaran one God justru dengan menerima perbedaan dengan sesama dalam dimensi one heart tadi. Kalau orang sehati dengan Allah, ia sehati dengan kemanusiaan. Kalau orang memuliakan kemanusiaan, ia memuliakan Allah pula.
Ya Tuhan, mohon rahmat jiwa besar dan hati yang rela berkorban untuk meluhurkan kemanusiaan dalam cinta-Mu. Amin.
HARI MINGGU BIASA XXXI B/2
4 November 2018
Ul 6,2-6
Ibr 7,23-28
Mrk 12,28b-34
Categories: Daily Reflection
You must be logged in to post a comment.